Jumat, 09 Oktober 2015

makalah usul fiqih tentang pengertian USUL FIQIH

PENGANTAR USHUL FIQH


Pengertian Ushul Fiqh

Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan “fiqh”. Kata  “fiqh” secara terminology berarti “paham yang mendalam” (dalam syarifuddin,2009:40).. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam Al-Qur’an dengan arti paham itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
 
93. Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

Arti yafqahuna dalam ayat itu: “mereka memahami”.
   
Arti fiqh dari segi istilah ialah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. 
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” ( ) secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian, “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,” atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Sedangkan menurut Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir berpendapat  bahwa ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara atau sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalilnya.

Latar Belakang Ushul Fiqh
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau, kemudian  beliau memberikan jawaban hukum dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu  yang tidak  ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban dengan melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunnah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Demikian pula dengan hadis yang disampaikan Nabi, juga bahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai banyak pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah.
Bila sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam Al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi juga tidak ditemukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam beritjihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Allah SWT. Dalam surat an-Nisa’(4): 59 berfirman:

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyas (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an,hadis, dan tidak ada pula ijma’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’yang disepakati dikalangan jumahur adalah empat yaitu Al-Qur’an, hadis, atau sunah, ijma’, dan Qiyas.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat islam sudah bercampur baur antar orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dan memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hokum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Di samping itu juga memperhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam tanggung jawab hokum. Kaidah dalam memahami hokum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh. 

Objek Kajian Ushul Fiqh
Untuk memahami suatu disiplin ilmu, lebih dulu perlu diketahui apa yang menjadi objek pembahasannya dan sisi mana saja objek bahasan tersebut yang akan dikaji.
Menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi (dalam Effendi, 2005: 11) ada tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad.
Sedangkan menurut Al-Ghazali (dalam Effendi, 2005: 11) objek kajian atau bahasan Ushul Fiqh menjadi 4(empat) bagian, yaitu:
Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih;
Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu;
Pembahasan tentang ijtihad.

Sedangkan menurut Amir Syarifuddin (2008: 49)” objek atau bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang:
Dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu;
Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan dalil atau sumber yang nengandungnya.

Dari penjelasan para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa objek kajian atau bahasan pokok  ushul fiqh adalah:
Dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu;
Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan dalil atau sumber yang nengandungnya.
Pembahasan tentang ijtihad.

Tujuan Ushul Fiqh
Menurut Amir Syarifudin (2008: 48)“Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah:
untuk dapat manerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang bersifat terinci agar sampai pada hukum-hukum syara’yang bersifat ‘amali  yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Dapat memahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Dapat mamahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.”

Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah dan akhlak. Oleh sebab itu,para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.(dalam Nasrun, 1997: 5).
Dari penjelasan beberapa para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan mempelajari ushul fiqh adalah:
untuk dapat manerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang bersifat terinci agar sampai pada hukum-hukum syara’yang bersifat ‘amali  yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
Dapat mamahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.

Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Topik-topik dan ruang lingkup yang di bicarakaan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh:
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum,seperti hukum  taklifi(wajib,sunat,mubah,makruh dan haram) dan hukum wadl’(sabab,syarat,mani’,’ilat,shah, batal,azimah dan rukhshah).
Masalah perbuatan seseorang yang akan di kenai hukum (mahkum fiqh) seperti apakah  perbuatan itu sengaja atau tidak,dalam kemampuannya atau tidak,menyangkut hubungan manusia dengan tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau di paksa.

Pelaku sesuatu perubahan yang akan di kenai hukum (mahku ’alaihi) apakah pelaku tersebut mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahli atau bukan.
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum meliputi keadaan yang di sebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama di sebut awarid  muktasabah yang kedua di sebut awarid samaniyah.
Masalah istinbat dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalala lafash, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas’, mutlaq dan muqoyyad, nasikh dan mansukh.
Masalah ra’yu, ijitihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan ra’yu dan batas-batas penggunanya, fungsi badan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid.
Masalah syar’iyah, yang meliputi pembahasan al Quran, as Sunnah, ijma’, qiyas’ihtihsan, isthislah ,istinbat, mazhabus syar’iyah, al ‘urf,sya’u maqn qablana, bara’atul ashliyah, saddus zar’iyah, maqashidus syari’ah/khususus syari’ah

Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan,” mengerjakan shalat itu hukumnya wajib “. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara’ “. Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadis bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat yang berbunyi:

    Kerjakanlah shalat.

Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’ ”. untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah:(               ) yang disebut  “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.   
Dari  penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.



Perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqh
Menurut Abu zahrah (1993: 7) Qawa’id  Fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqh yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.
Selain ilmu Ushul Fiqh sebagai metodologi utama dalam memahami hukum syari’ah  (Islam) ,ada pula metodologi pelengkap yang befungsi untuk mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum Islam ini, yakni Qawa’id Fiqhiyah . sebagai hukum kebanyakan (aglabiyah) Qawa’id Fiqhiyah ini sebenarnya tidak bisa menjadi dasar hukum dengan sendirinya, kecuali ada dasar atau dalil hukum lain yang sejalan dengannya.
Menurut Abuddin Nata (2003:38)” Dalam hubungannya dalam Ushul Fiqh perbedaan dan persamaan  antara  Qawa’id Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
Ushul Fiqh merupakanketentuan umum sebagai metodologi istinbath al-ahkam (memahami hukum-hukum yang terkandung di dalam dalil-dalil yang rinci), maka Qawa’id Fiqhiyah merupakan hukum kebanyakan (aghlabiyah) untuk memudahkan dalam memahami masalah-masalah fiqh.
Ilmu Ushul Fiqih muncul tidak lama setelah munculnya ilmu Fiqh (bahkan secara ide lebih dahulu dari pada fiqh), maka Qawa’id Fiqhiyah muncul belakangan baik secara fakta maupun ide karena ilmu ini memang merupakan generalisasi dari hukum-hukum fiqh pada rincian masalah-masalah fiqh (kasus hukum) yang ada.
Persamaannya yakni kedua-duanya merupakan kaidah-kaidah umum yang mencakup bagian-bagiannya. Hanya kalau Ushul Fiqh itu mencakup dalil-dalil rinci (tafshili), maka Qawa’id Fiqhiyah mencakup masalah-masalah fiqh yang ada (juz’i).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar