Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG ‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM


‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

DEFENISI ‘URF
 Secara etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Dalam bahasa Arab, kalimat Al-Urf memiliki makna yang banyak namun secara garis besar kalimat tersebut memiliki makna yang bersifat hakiki dan majazi. Makna Urf secara hakiki menunjukkan tentang kejelasan, ketinggian. dan segala sesuatu yang menurut nurani manusia adalah kebaikan dan membawa ketenangan juga disebut Al-Urf. Ibnu Faris di dalam kamusnya mengatakan bahwa Kalimat Urf berasal dari Arafa atau Arfun yang keduanya menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Dalam penggunaannya kalimat Urf lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan lainnya.
     Jadi, dapat disimpulkan bahwa Urf yaitu sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabiat yang masih bersih. Dalam definisi tersebut terkandung beberapa aspek bahwa urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih sehingga jiwa merasa tenang.

DASAR HUKUM
Dasar hukum Urf terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist serta ijma’.
Surat Al-A’raf ayat 199:
         
Artinya:” Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Hadis Nabi
”Segala sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik, maka demikian itu di sisi Allah adalah perbuatan yang baik”. Menurut hadis ini perbuatan yang telah menjadi kebiasaan kaum muslimin yang dipandang baik maka di sisi Allah merupakan perbuatan yang baik. Perbuatan yang menyalahi kebiasaan yang dipandang baik tersebut akan menyebabkan terjadinya kesulitan dan kesempitan dalam hidup mereka. Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih setara dengan penetapan dengan dalil syara’. Dan hadis Rasulullah saw. tentang  kisah Hindun; istri Abu Sufyan yang mengadukan kebakhilan suaminya dalam memberikan nafkah. Rasul bersabda,”khudzi min mali Abi Sufyan ma yakfiki wa waladaki bi al-ma’ruf.”(ambillah dari harta Abi Sufyan sesuai kebutuhan yang pantas untukmu dan anakmu). Menurut al-Qurthubi dalam hadis ini dijadikannya ‘urf sebagai pertimbangan penetapan hukum Syari’at  oleh Rasulullah saw.
Ijma’
Para ulama dari masa yang berbeda, berhujjah dengan ‘urf dengan memasukkan pertimbangan ‘urf dalam ijtihad mereka. Ini sebagai pertanda sahnya penggunaannya, ini posisinya sama dengan ijma’ sukuti. Sebagian mereka secara tegas menggunakannya sedang yang lain tidak membantahnya.  Lebih lanjut ia menyatakan sesungguhnya ‘urf pada hakikatnya berdasarkan pada dalil Syara’ yang mu’tabarah, seperti Ijma’, mashlahah mursalah dan adz-dzri’ah. ‘Urf yang berdasarkan Ijma’ antara lain: jual beli secara pesanan, ketentuan tentang penyewaan kamar mandi umum. Syatibi mendasarkan bahwasan ijma’ ulama menyatakan bahwa sesungguhnya syari’at Islam itu datang untuk memelihara kemaslahatan manusia. Untuk itu wajib memperhatikan tradisi-tradisi mereka karena di dalamnyalah terwujudnya kemaslahatan tersebut.
MACAM-MACAM URF
Macam-macam ‘urf dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan
‘Urf qauli,
     yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata ucapan. Kata waladun secara etimologi artinya ”anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khususnya untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu’annts). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan, (mengenai waris/harta pusaka) berlaku juga dalam Al-Qur’an seperti dalam surat An-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
Dalam kebiasaan sehari-hari (‘urf) orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut. Umpamanya dalam memahami kata walad pada surat an-Nisa’(4): 176:
                                                          
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Melalui penggunaan ‘urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut diartikan sebagai orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki.Dalam hal ini (dengan pemahaman ‘urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara sedangkan anak perempuan tidak dapat.
Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al-Qur’an, surat an-Nahl (16): 14:
                           
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari dikalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut  ‘adat masyarakat Arab, orang tersebut telah melanggar sumpah.
‘Urf Fi’li
yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya:
1. Kebiasaan jual beli barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa.
2. Kebiasaan saling mengambil rokok diantara sesama teman tanpa adanya         ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya
Adat atau ‘urf umum
Yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru duni, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: (1) menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menindakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil (2) dimana-mana bila memasiuki pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan beberapa banyak air yang dipakainya dalam beberapa lama ia menggunakan pemandian tersebut.
Adat atau ‘urf khusus
 Yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan disembarang waktu. Umpamanya: (1) ‘adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui garis bapak (patrilineal) dikalangan suku Batak, (2) orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik ayah, sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari ayah (3) bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya, tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-anak.
Dari segi penilaian baik buruknya
‘Adat Yang Shahih
 Yaitu ‘adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Umpamanya memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara , halalbihalal (silaturrahmi) saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas sesuatu prestasi.
‘Adat Yang Fasid
Yaitu ‘adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).
Sedangkan jika ditinjau dari segi objeknya, maka urf dibagi menjadi:
Urf lafdzi
Yaitu kebiasaan sekelompok masyarakat untuk mengunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga maknanya dapat dipahami oleh masyarakat tersebut.
b. Urf amaly
 Adalah kebiasaan suatu kelompok masyarakat untuk melakukan pekerjaan biasa yang tidak terkait dengan orang lain dan terkait dengan muamalah keperdataan yang menyangkut tentang kebiasaan masayarakat untuk bertransaksi dengan cara tertentu.

 Dan jika ditinjau dari Menurut keshashihannya, terbagi menjadi:
a. ‘urf shahih
 Yakni urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil dan nash al qur’an dan hadits.
b. ‘urf fasid
 Yakni urf yang berlaku pada suatu masyarakat yang bertentangan dengan dalil dan nas h Al-Qur’an dan hadits
KEDUDUKAN/KEHUJJAHANNYA
Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’. Baik yang menyangkut dengan ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘amali, dapat dijkadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara’.
‘Urf atau ‘adat ini yang sudah diterima dan diambil alih oleh syara’ atau ada yang secara tegas telah ditolah oleh syara’, tidak perlu diperbincangkan lagi tentang kehujjahannya. Dengan demikian, pembicaraan tentang kehujjahan ‘urf ini sedapat mungkin dibatasi pada ‘urf bentuk perbenturan ‘urf dengan qiyas, baik yang termasuk pada ‘adat atau ‘urf yang umum dan yang tetap  (yang tidak mungkin mengalami perubahan), maupun ‘adat khusus dan yang dapat mengalami perubahan bila waktu atau tempat terjadinya sudah berubah.
Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan mengistinbatkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut:
‘adat atau ‘urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Misalnya saja tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meskipun kebiasaan ini dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau dikalangan sebagaian besar warga. Dalam hal ini al-Sayuti mengatakan:
Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak  akan diperhitungkan.
Contohnya kalau ada alat pembayaran resmi yang berlaku disuatu tenpat haya satu jeis mata uang, misalnya dollar Amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis meta uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila ditempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya.
‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini kaidah yang mengatakan:
‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.
Dalam hal ini misalnya orang yang melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang berlaku pada waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian ‘adat ditempat itu mengalami perubahan dan orang-orang yang terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul lagi suatu kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang kepada ‘adat yang sedang berlaku (yang muncul kemudian), sehingga ia memutuskan untuk mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar lunas (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat yang berlaku pada saat akad berlangsung dan tidak menurut ‘adat yang muncul kemudian.
‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.
Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat sahih; karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk ‘adat yang fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.
Jelaslah bahwa ‘urf atau ‘adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun, penerimaan ulama atas ‘adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘Urf atau ‘adat bukanlah dalil yang  berdiri sendiri. ‘adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat. ‘Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, maka berarti secara tidak langsung telah menjadi ijma’ walaupun dalam bentuk sukuti.
‘Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai ‘adat seperti berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai kemaslahata, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya. 
KAIDAH-KAIDAH FIQH TENTANG URF
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas,istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan’urf, akan berubah bilamana ‘urf ituu berubah. Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa tidak di ingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Maksudnya ungkapan in adalah bahwa hukum-hukum fiqih yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Misalnya, bersifat adil adalah syarat di terimanya kesaksian seseorang berdasarkan firman Allah:
                                

Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Ayat tersebut berbicara tentang kesaksian bagi seseorang yang hendak merujuk istrinya yang telah di talaknya kurang dari tiga. Syarat kesaksian yang di terima seperti dalam ayat itu adalah bersifat adali, yaitu suatu sifat yang di miliki oleh seseorang yang mampu membawa kepada menaati agama Allah dan menjaga harga diri. Yang di sebut terakhir ini, yaitu sifat-sifat yang merusak harga diri, bisa berbeda antarang  satu masyarakat dengan yang lain dan antara satu masa dengan masa yang lain.
Hukum Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan seperti tersebut. Demikian juga dalam memahami ayat-ayat yang bersifat global, perlu mempertimbangkan kebiasaaan-kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Misalnya, ayat 233 surat al-Baqarah menjelaskan:
                                                                        

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus di berikan seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat dimana ia berbeda. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskan pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.
    Kaedah Ushuliyyah yang Terkait dengan Pemberlakuan ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum  Islam memberi peluang bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab banyak permasalahan yang tidak tertampung dalam metode qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan yang lainnya dapat ditampung oleh ‘urf. Di antara kaedah ushuliyah yang terkait dengan pembahasan ‘urf antara lain:
Kaedah yang menyatakan bahwa hukum yang dalam pembentukannya oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf itu berubah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751H) menyatakan, taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah wa al-amkinah (hukum itu berubah karena ada perubahan waktu dan tempat). Sebagai contoh ketentuan pemberian nafkah istri dan anak. Ini dapat dengan merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tempat seseorang itu berada. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, ada ulama yang menyatakan,’ la yunkir taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman”.  Begitulah kiranya memahami ayat berikut:
Kaedah al-adah muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum)
Kaedah Isti’mal an-nash hujjatun yajibu al-‘amal biha. Kaedah ini sama pengertiannya dengan kaedah nomor dua.
Kaedah al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Sesuatu yang telah menjadi ‘urf dalam masyarakat baik berupa perbuatan maupun perkataan  adalah untuk pengaturan hidup dan kebutuhan mereka. Apabila mereka berkata atau menulis sesuatu yang dimaksudkan adalah sesuai dengan pengertian yang telah mereka kenal (telah menjadi ‘urf di antara mereka). Apabila mereka berbuat sesuatu maka mereka berbuat sesuai dengan kebiasaan yang telah melembaga di kalangan mereka. Dan apabila mereka mendiamkan; tidak memberi ketegasan tentang sesuatu maka yang dimaksudkan adalah sesuatu yang sesuai dengan ‘urf mereka. Oleh sebab itu para fuqaha menyatakan: al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Dan sesungguhnya syarat dalam sebuah akad itu dipandang sah jika merupakan keharusan dari akad itu sendiri, telah ditentkan oleh Syara’, atau sesuatu yang berlaku dalam ‘urf .
Kaedah al-ma’ruf  bain at-tujjar ka al-masyruth bainahum (kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang kedudukannya sama dengan berlakunya persyaratan di antara mereka). Kaedah ini semakna dengan kaedah sebelumnya.
Kaedah at-ta’yin bi al-‘urf  ka at-ta’yin bi an-nash
Kaedah ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit bi an-nash ( sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash). Ulama  yang mensyarah kitab Asybah wa an-Nazhai-ir, menyatakan        “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi ad-dalil syar’i” dan dalam bahasa yang senada Sarakhsi menyatakan, “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi an-nash” bahwa permasalahan yang ditetapkan berdasarkan ‘urf merupakan penetapan dengan dalil yang diyakini sebagaimana halnya nash (al-Qur’an dan hadis) ketika tidak ditemukannya nash tentang persoalan tersebut.
Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-lughah.” (pengertian menurut ‘urf (‘urf lafzhi) itu yang digunakan dalam memahami suatu istilah).
Kaedah al-haqiqah tutrak bi dilalah al-‘adah berlaku hanya pada ‘urf lafzhi. Artinya yang dipakai adalah pengertian kata tersebut dalam kebiasaan masyarakat bukan maknanya yang hakiki.
Kaedah al-isyarat al-ma’hudah li al-akhras ka al-bayan bi al-lisan (bahasa isyarat yang diungkapkan oleh orang tuna wicara itu kedudukannya sama dengan penjelasan secara lisan).
Kaedah al-kitab ka al-khitab berlaku pada ‘urf lafzhi . Kaedah kedua sampai dengan kesebelas ini terkait dengan ‘urf lafzhi.
Kaedah Innama tu’tabar al-‘adah idza iththaradat aw ghalabat, artinya suatu ‘urf itu barulah dapat dijadikan landasan hukum jika ia telah menjadi tradisi serta dipraktikkan oleh masyarakat secara umum.
Kaedah al-‘Ibrah li al-ghalib la li an-nadir. Kaedah ini dan kaedah kesepuluh menjadi qayyid dari kaedah al-adah muhakkamah.
IMPLIKASI PERUBAHAN URF
‘Urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan yang digunakan dalam hukum. Banyak ungkapan dalam bidang perikatan, muamalat, munakahat, sumpah, nazar dan lainnya yang harus diartikan menurut ‘urf si pembicaranya. Suatu  ungkapan yang pada tempat dan waktu tertentu dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami perubahan makna pada waktu atau tempat yang lain. Perubahan ‘urf tentang penggunaan suatu ungkapan dapat mempengaruhi hukum.
Berikut ini disajikan beberapa contoh hukum yang mengalami perubahan karena terjadinya perubahan zaman sehingga ‘urf masyarakatpun berubah.
Pembukuan sunnah terwujud pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah Umar ibn Abd al-‘Aziz. Ini berdasarkan pada kekhawirannya akan hilang lenyapnya sunnah dengan meninggalnya para penghafalnya. Larangan nabi sebelumnya dalam penulisan sunnah ini karena kekhawatiran tercampurnya dengan al-Qur’an. Sabda beliau, “man kataba ‘anni ghair al-Qur’an falyamhuh.”
Dalam mazhab Hanafi tidak membolehkan menerima upah dari mengajarkan al-Qur’an dan dalam menjalankan tugas syi’ar agama. Karena yang demikian dikategorikan sebagai ibadah dan dalam hal ibadah tidak boleh mengambil upah/ imbalan. Tetapi tatkala manusia itu enggan mengajarkan al-Qur’an dan menjalankan tugas syi’ar agama kecuali dengan menerima imbalan maka para fuqaha lalu membolehkannya untuk kontinuitas pemeliharaan al-Qur’an dan syi’ar agama. Dalam versi yang berbeda Abd al-Karim Zaidan menyatakan dulunya orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an itu mendapat sokongan dari bait al-mal. Ketika bantuan itu terputus maka dibolehkan untuk menerima upah dari tugas mengajar tersebut. Jika tidak diperbolehkan dikhawatirkan kesibukan mereka mencari nafkah menyebabkan mereka tak dapat lagi mengajarkan al-Qur’an.
Pada masa Abu Hanifah, ia menerima persaksian seseorang tanpa ada klarifikasi lebih lanjut kecuali dalam kasus pidana dan qishsash. Tapi pada Abu Yusuf dan Muhammad terjadi banyak kebohongan dalam masyarakat sehingga dalam menerima setiap kesaksian seseorang mereka mengadakan recek dan klarifikasi terlebih dahulu.
Penerapan ayat QS al-Baqarah/2: 233





DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria, 2009. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Syarifuddin, Amir,  2009. Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana Prenada Media
http://tokied4airi.wordpress.com/urf-dan-dzari%E2%80%99ah-dalam-penetapan-hukum-islam/
https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-dasar-hukum-macam-macam-kedudukan-dan-permasalahannya/
http://pks-arabsaudi.org/pip/cetak.php?id=330
http://jayusman.blog.iainlampung.ac.id/?p=33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar