Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG SADD AL- ZARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

SADD AL- ZARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Mendefenisikan Sadd al -  Zari’ah
Secara etimologi zari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu”. Adapun yang mengkususkan zaria’ah adalah “sesuatu yang membawa kepada yag dilarang dan mengandung kemudaratan”.
 Menrut Ibn Qayyim al-Jauziah mengatakan zari’ah sesuatu yang dilarang saja tidak tepat karena ada juga zari’ah yang brtujuan kepada yang dianjurkan.
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”dan kata az-zari’ah berarti “wasilah”atau “jalan kesuatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az-Zari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan “. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, sadd al-zari’ah berarti: Menutup jalan yang membawa kepada kebiasaan atau kejahatan.
Perbuatan – perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul – Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam :
Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk kedalam kajian sadd az-Zari’ah.
Perbuatan yang secara esensial dibolehkan , namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.
Seperti yang dikemukakan oleh wahbah az-Zuhaili terbagi kepada empat macam :
Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Seperti menggali lubang ditempat yang gelap di depan pintu jalan lalu lintas orang umum yang dapat  dipastikan akan menjebak siapa yang melaluinya. Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah perbuatan terlarang dan orang yang cedera disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan diminta pertanggung jawaba .
Perbuatan itu mengandung kemungkinan , meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya menggali sumur ditempat yang tidak biasa dilalui orang, atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamar atau minuman keras. Perbuatan ini boleh dilakukan , karena kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan sangat sedikit dibandingkan dengan manfaat yang akan diraih.
Perbuatan yang pada dasarnya adalah mubah namun kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan diraih. Misalnya, menjual senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak yang dikenal bandar judi atau kepada germo, mencaci maki atau mengejek. Perbuatan ini dilarang, karena keras dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamka agama.
 Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya mengelak dari riba.jual  beli seperti ini dikena dengan ba’i al-‘ainah.

Menjelaskan dasar Hukum
Al-Quran
Q.S al-An’am :108

                            
Artinya:“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(Q.S al-An’am :108)”
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
Dan pada Qur’an Surat al-Baqarah ayat 104 juga di jelaskan:
               
Artiny:.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih(Al-Baqarah :104)”
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW.  Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
Sunah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّه
“Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.
“Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.

 
Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah: 
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.

Kedudukkan /Kehujjahannya
Kehujjahan Sadd Adz- Dzaria dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
                          
 Artiya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS: An An’am:108).
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau   tuhan yang mereka sembah.
  Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasululla
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang  akan melaknat  ibu bapak nya.  Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya. (HR. bukhori dan Muslim). Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadiah dari orang yang berhutang untuk menghindarkan terjerumus dalam peraktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan.
Dalam kasus lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya (HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan. Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.
Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at.   Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah. Menurut Husain Hamid , salah seoang  guru besar Ushul Fiqh fakultas hukum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang  akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, ada  dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:
Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu.  Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah.
 Oleh karena itu dilarang, Perbedaan antara Sydfi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad.  Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi.
  Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah: “patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya. Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah “yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan).
Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan.  Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan hukum sayara’ hal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.


Macam-macam dan Tingkatannya
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.

Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau menyakiti orang lain.
Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tidak ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.

Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
Seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
Kedua macam dzari’ah ibn Qayyim al Jauziyah dibagi lagi kepada:
Yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemaslahatannya
Yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya





Mengaplikasikanya di Zaman Kotemporer
Sadd Al-Zari’ah merupakan salah satu metode ijtihad yang digunakan untukn mengeluarkan pendapat tentag suatu permasalahan. Dimana Saad Al-Zari’ah pada dasarnya suatu perbuatan diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan.  Pengaplikasianya pada zaman sekarang bisa dilakukan terhadap hal-hal permasalahan yang timbul pada saat sekarang ini yang mungkin perbuatan itu sebebarnya diperbolehkan tetapi adanya kemugkinan menimbulkan keburukan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul
( genap setahun) ia menghibahkan hartanya anaknya,sehingga ia terhindar dari kewajiaban zakat.
    Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah. Untuk menentukan menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadikan sarana (adz-dzariah)terjadikan suatu perbuatan lain yang dilangan,maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbutan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.
Misalny, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan siperempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’yaitu demi membina keluarga yang langgeng.

Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat sipelaku
Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (grtifikasi)yang diawasi oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapatkan hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadia. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi)dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK. 
















DAFTAR PUSTAKA

http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar