Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH .SEJARAH DAN PERTUMBUHAN USUL FIQIH

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH


Fiqh Pada Masa Nabi Muhammad saw
Di zaman Rasulullah SAW., sumber hukum Islam hanya dua , yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus , Rasulullah SAW., menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. (Nasrun Harun , 1997: 6)
Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi SAW telah berbuat sehubungan dengan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan bahwa yang mudah dipahami, karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya sehingga menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, yang pengakuannya kemudian disebut sunah Nabi.(Amir Syarifuddin, 2009: 7)
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalinya melalui penalaran ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang terbentuk sunah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “fiqh sunah” .
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan sunnah diperslisihkan oleh para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):           
             
“Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya; ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad, perbedaan pendapat para ulama itu adalah:
Jumhur ahli ushul berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh berijtihad sebagaimana berlaku pada manusia lainnya.
Ulama kalam Asy’ariyyah, mayoritas ulama Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubbai dan anaknya Hasyim berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’.
Pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah-masalah peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’.

Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen masing-masing, kita cenderung pada pendapat mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan Nabi itu di bimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah beritjihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang sebagian dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapatkoreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan ijtihadnya. (Amir Syarifuddin, 2009:23)
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan keserdehanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. 






Fiqh Pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW., sempurnanya turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi.kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleks kehidupan umat dan keimanan umat yang semakin tinggi, maka umat memerlukan jawaban hukum dalam setiap menghadapi persoalan dalam kehidupan.
    Ada tiga pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum yaitu; (Amir Syarifuddin, 2009:24)
Begitu banyaknya muncul kejadian baruyang membutuhkan jawaban hukumyang secara lahiriah tidak ditemukan jawaban dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi;
Timbulnya masalah-masalah lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baruagar relevan dalam perkembangan danpersoalan yang dihadapi;
Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut belaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.

Katiga masalah pokok di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihad.
Masa Abu bakar al-Shiddiq, khlifah pertama, disebut sebagai sebagai masa penetapan tiang-tiang hukum Islam. Para sahabat telah mewarisi apa yang pernah ada pada masa Rasulullah, dan dihadapkan pula kepada mereka masalah-masalah baru. Ia memutuskan (qadla) hokum Islam, dan para sahabat lainnya ia libatkan dalam masalah fatwa, mengeluarkan keputusan qadla, mengajarkan kepada orang lain, melakukan ijtihad, dan lain-lain. (dalam Abudin Nata, 2003: 9)
 Metode pengajaran hokum yang dilakukan para sahabat adalah mengembalikan permasalahan terlebih dahulu kepada Al-Qur’an. Jika tidak didapatkan pemecahan di dalamnya,mereka kembalikan kepada sunnah Nabi, dan kalau ternyata tidak juga terselesaikan, baru mereka melakukan ijtihad untuk mendapat hokum yang dicari. Cara mereka berijtihad adalah berpegang kepada ma’qul al-nash dan mengeluarkan ‘illah (penyebab adanya hukum) atau hikmah yang dimaksud dari nash itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya yang ada pada nash. Inilah yang kemudian disebut al-qisas. Dengan bermusyawarah dalam mencari hokum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka bersepakat dalam hukum yang mereka temukan atas suatu masalah. Inilah yang disebut dengan ijma’. (Abudin Nata, 2003: 11)
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran ushul Fiqh sudah tampak pada periode sahabat. Para sahabat untuk menetapkan suatu hokum dengan menggunakan sumber dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas dan ijma’ sahabat.

Fiqh Pada Sighar Sahabat/ Tabi’in
Periode ini dimulai dari tahun 41 H/ 661 M sampai jatuhnya Khilafah Umayyah di Damaskus tahun 132 H/ 750 M. Masa ini adalah pembentukan hukum Islam  yang sudah menujus kepada furu’ syar’iyyah, hukum-hukumnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci , dan sekaligus peletakan peraturan dasar yang diambil dari keempat sumber yang sudah ada.
Pada masa ini penetapan Fiqh dengan menggunakan sunah dan ijtihad yang sudah berkembang dan meluas. Dalam kader penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk yaitu: (Amir Syarifuddin, 2009: 33-34)
Dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok ini  disebut “Ahl al-Hadis”. Kelompok ini tinggal di wilayah Hijaz, khusunya Madinah.
Dalam menetapkan hukum fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu  atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”.Kelompok ini lebih banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.

Kelompok “Ahl al-Hadis” menonjolkan dua madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekkah. Dari madrasah madinah muncul para fuqaha terkemuka, seperti: Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah ibn Umar ibn khattab, Abu Hurairah. Sedangkan dari Madrasah Mekkah menghasilkan fuqaha sebagai berikut: Abdullah ibn Abbas; Mujahid; ; Ikrimah; Atha’ ibn Abi Rabah; dan Abu Zubair.
Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekkah ini muncul seorang Mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas yang kemudian diikuti oleh kelompok besar yang disebut Mazhab Malikiyyyah.  
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua madrasah besar, yaitu Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kuffah muncul mujtahid Ahl al-Ra’yu, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis,  Masru’ bin Ajda’, Said bin Zubair . sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan Mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas bin Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak itu muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan banyak pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah.







Fiqh Pada Periode Keemasan/ Tadwin
Pada masa ini bermula pada abad kedua Hijriah (VII M), bersamaan dengan pengangkatan Abdullah Al-Saffah sebagai Khalifah pertama Abbasiyah dan berakhir pada pertengahan abad keempat Hijriyah. Pada masa ini terkenal sebagai masa perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh ikut berkembang pesat, dan banyak kitab-kitab berkenaan dengannya. (Abudin Nata, 2003: 13)
Kemudian muncul Imam Syafi’I dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat pertama sekali membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh yang disusun Imam Syafi’I tersebut bernama al-Risalah. Kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid sebelumnya. Imam Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi diantara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan Ahl al-ra’yi di Irak. Dari kedua aliran ini Imam Syafi’I berusaha untuk mengompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta menyusun teori-teori ushul fiqhnya. Dalam kitabnya, al-Risalah , Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh ; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hokum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.(dalam Nasrun Harun, 1997: 10)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada periode tadwin ini di pelopori oleh Imam Syafi’i dengan membukukan ilmu ushul fiqh yang bernama al-Risalah yang disusun berdasarkan khazanah fiqh yang  ditinggalkan oleh para sahabat, tabi’in,  dan imam-imam  mujtahid.






Fiqh Periode Stagnis / Jumud
Pada abad IV H, merupakan titik pisah sejarah hukum Islam. Abad ini dikatakan sebagai periode telah selesainya pembentukan hukum yang berdasarkan ijtihad secara mutlak. Maka berhentilah proses kreatif pertumbuhan hukum Islam, sampai muncul anggapan bahwa para pakar terdahulu itu terpelihara dari kesalahan. Ini berakibat seorang ahli hukum, pada masa ini , tidak dapat lagi menetapkan atau mengeluarkan keputusan hukum kecuali untuk masalah-masalah yang kecil saja.
Sebenarnya pakar-pakar abad IV H tidak kurang kemampuannya dibanding generasi sebelum mereka, hanya saja mereka kurang memiliki kebebasan, meskipun tidak juga taklid semata. Mereka melakukan tahrij, tarjih, dan membuat karya-karya tentang al-hilaf.     
Bila ushul fiqh mengalami stagnasi, maka ushul fiqh tidak demikian.Abu Zahrah menulis sebagai berikut:
“setelah orang banyak menutup pintu ijtihad secar  mutlak, dan hanya melakukan ijtihad hanya menurut ushul tertentu saja, hal ini tidak memberikan kemunduran bagi Ushul Fiqh, Malah memecunya terus ke depan. Terdapat kemampuan pakar-pakar yang luar biasa, yang meneliti, membahas, dan mengkaji secara mendalam ilmu ushul ini secara per-bab, tidak mengurangi nilainya sedikitpun, bahkan menjadi penimbang ketika terjadi perselisihan”
Pada periode ini lahir tidak kurang dari 25 kitab penting tentang ushul fiqh. Hanya saja metode penulisannya kurang sempurna, karena tidak mementingkan penyebutan nama-nama pengarangdan judul-judul kitabnya. (Abudin Nata, 2003: 16-17)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada periode ini para mujtahid telah bisa menetapkan hukum berdasarkan  tahrij, tarjih, dan membuat karya-karya tentang al-hilaf. Sehingga pada periode ini lahir tidak kurang dari 25 kitab penting tentang ushul fiqh.   



Fiqh Pada Periode Kebangkitan Kembali
Pada abad V samapai pertengahan abad VII H, merupakan masa penyempurnaan pemikiran hukum Islam, kendati Dinasti Abbasiyah sudah diambang keruntuhan. Pemikiran Ushul Fiqh mengalami kemajuan yang luar biasa dengan muculnya pemikir-pemikir berbobot, yang juga menggeluti berbagai bidang disiplin ilmu, seperti: al-Baqillani, al-Qadli Abd al-Jabbar, al-Qadli Abu Zaid al-Dabbusy, Imam al- Haramin, dan Imam al-Ghazali.penulisan tentang Ushul Fiqh tidak kurang dari 29 buah kitab.
Beraneka ragam cara penulisan dilakukan.sebagian mengarah kepada kajian perbandingan; dikemukakan pendapat yang ada dan kemudian mentarjihnya. Penyelesaian masalah Ushul yang diperselisihkan juga tidak dilakukan secara tersendiri, seperti dalam kitab Al-Tabshirin karya Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali al-Fairuzzaby (w. 446 H), ditambah dengan kitab-kitab lain, maka setiap aliran fiqh memiliki kitab tersendiri yan terperinci dalam masalah Ushul Fiqh, terutama yang bersumber dari pemikiran Imam Madzhab.
Dari gelombang pemikiran Ushul Fiqh, timbullah empat aliran pemikiran: Mu’tazilah, Asy’ariyah, Salafiyah, dan Maturidiyah. Dimasukkan ke dalam pembahasan Ushul Fiqh permasalahan-permasalahan pokok yang erat kaitannya dengan bahasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu Kalam. Ini kemudian besar pengaruhnya dalam ilmu Mantiq dan Filsafat.
Peiode ini, tak bisa disangkal lagi, merupakan puncak perkembangan pemikiran Ushul Fiqh. (Abudin Nata, 2003: 17-18)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada periode ini pemikiran Ushul Fiqh mengalami kemajuan dengan adanya pemkir-pemikir yang berboot, sehingga pada periode ini dapat lahir tidak kurang dari 29 buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar