Sabtu, 10 Oktober 2015

ULUMUL QUR.AN PEMBAHASAN QIRA’AT AL-QURAN

2013
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah melimpah-kan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qira’at Al-Qur’an ini.Tak lupa pula Shalawat beserta salam somoga dilimpahkan kepada RasulullahSAW.
Semua materi ini di bahas dalam buku-buku sumber atau referensi.Supaya penulis dan pembaca mudah dan terbantu dalam penguasaan materi ini, maka di buatlah makalah sederhana ini khusus dalam mata kuliah ‘Ulum Al-Qur’an.
Penulis menyadari bahwa materi yang berhubungan dengan Qira’at Al-Quran ini belum sesuai dengan harapan. Untuk itu sangat diperlukan kritik dan saran yang tentunya membangun, demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.















PENDAHULUAN

Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang berbahasa arab yang diturunkan secara mutawatir yang diawali dengan Al-Fatihah dan diakhiri dengan An-Nas serta membacanya akan mendapat pahala. Dalam Al-Qur’an terdiri dari 114 surat yang apabila membaca dan memahaminya serta mengamalkan akan dapat membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, dalam membantu kita membaca Al-Qur’an dengan baik maka kita memperlukan ilmu-ilmu tentang bagaimana membaca Al-Qur’an yang baik dan benar. Dalam makalah ini penulis akan menyajikan pembahasan tentang pengertian qiraat, latar belakang terjadinya perbedaan qiraat, maksud Al-Qur’an atas tujuh huruf, sebab-sebab perbedaan qira’at, urgensi mempelajari qira’at dan pengaruhnya dalam istinbath (penetapan) hukum.

Tujuan Penulis
Untuk menyelesaikan tugas.
Untuk memhami tentang Qira’at Al-Qur’an.
Untuk dijadikan sebagai ilmu dan wawasan dalam kajian Qira’at Al-Qur’an.









QIRA’AT AL-QUR’AN

Pengertian Qira’at Al-Qur’an
    Qira’at  menurut bahasa berasal dari kata qara’a berarti bacaan. Sedangkan secara istilah menurut Al-Zarqani qira’at adalah mempunyai tiga unsur pokok. Pertama, qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Cara membaca Al-Qur’an berbeda dari satu imam dengan imam qira’at lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qira’at di dasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qira’at bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan. Sedangkan menurut Ibn Al-Jazari adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaan dengan membangsakannya kepada penukilnya.
    Perbedaan cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari sumber yaitu Muhammad. Definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan diantara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap dari definisi yaitu :
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
 2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan atas riwayat yang bersambungan kepada Nabi. Jadi bersifat tauqifi, bukan ijtihad.
3. Ruang lingkup perbedaan qira’at menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.


Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
    1.  Latar belakang histori
    Qira’at sebenarnya telah muncul sejak Nabi masih ada walaupun pada saat itu qira’at merupakan sebuah disiplin ilmu. Timbulnya perbedaan qira’at dimulai pada masa tabi’in yaitu pada awal 11 H. Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca  Al-Qur’an. Sebagian mengambil satu cara bacaannya dari Rasul, sebagian mengambil dua dan yang lainnya mengambil lebih sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi populer dikota atau daerah tempat mereka mengerjakannya. Terjadilah perbedaaan cara bacaan Al-Qur’an dari suatu kota ke kota yang lain.
    Meluasnya wilayah islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengerjakan Al- Qur’an diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at. Perbedaan antara satu qira’at dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi di pertanggung jawabkan. Para ulama menulis qira’at-qira’at ini dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah “qira’at tujuh”. “qira’at sepuluh” dan “qira’at empat belas”.
    “Qira’at tujuh” adalah qira’at yang dibangsakan kepada tujuh orang imam qira’at yang masyhur, yaitu Naif Al-Madani (wafat, 169 H), Ibn Katsir Al-Makki (wafat, 120 H), Abu Amr bin Al-Ala, Ibn Amr Al-Dimisyqi (wafat, 118 H), Ashim bin Abi Al-Nujud Al-Kufi (wafat, 127 H), Hamzah bin Habib Al-Zayyat (wafat, 156 H) dan Kisai (wafat, 189 H).
     “qira’at sepuluh” adalah qira’at yang tujuh ditambahkan dengan Abu Ja’far (wafat, 130 H), Ya’qub Al-Hadhrami (wafat, 205 H), Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar (wafat, 299  H).Sedangkan “qira’at empat belas” adalah qira’at yang sepuluh ditambah dengan  Ibn Muhaishin   (wafat, 123 H), Al-Yazidi (wafat, 202 H), Al-Hasan Al-Bashri (wafat, 110 H) dan Al-Amsy  (wafat, 148 H).
2. Latar belakang cara penyampaian
Bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an sebagai berikut :
perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
perbedaan pada i’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah makna.
perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya sementara maknanya berubah.
perubahan kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya.
perbedaan dan menambah dan mengurangi huruf.

Maksud Al-Qur’an Atas Tujuh Huruf
Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf, berupa hadist Rasul yang berbunyi :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان هذا القران انزل عل سبعة احرف فقراء وا ما تيسر منه
Artinya: Rasul bersabda: sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (ahruf) maka bacalah mana yang mudah dari padanya. (HR.Bukhari Muslim)

Artinya : Rasul bersabda ; Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ( ahruf ) maka bacalah mana yang mudah daripadanya. (HR. Bukhari Muslim )
Sebagian ulama ada yang memahami bahwa yang dimaksud dengan tujuh dalam hadist bukan tujuh dalam arti bilangan tujuh yang sebenarnya. Tujuh disini hanya menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca Al-Qur’an. Ada juga ulama memahami yang dimaksud tujuh pada hadist diatas memang dengan bilangan yang dikenal.
    Sedangkan kata “ ahruf ” merupakan bentuk jamak dari “ harf ” dalam bahasa Indonesia artinya huruf. Dalam bahasa arab kata “ harf ” adalah lafal musytarak sesuai dengan penggunaannya “ harf ” bearti tepi sesuatu, puncak, satu huruf ejaan, aliran air, bahasa, bentuk, dan sebagainya. Sehingga “ sab’ah ahruf ” diartikan dengan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, tujuh bentuk. Jadi, makna yang lebih tepat tentang sab’ah ahruf adalah tujuh bentuk perbedaan yang mumgkin terjadi dalam bacaan Al-Qur’an.
    Imam Abu Fadhil Al-Razi dalam kitabnya Al-Lawaih mengungkapkan maksud dari sab’ah ahruf adalah tujuh perbedaan bacaan Al-Qur’an. Perbedaan bentuknya adalah :
Perbedaan asma’ ( kata benda ), berupa bentuk tunggal, dua, jamak, pria dan wanita.
Perbedaan tasrif ( konjungsi ) af’al ( kata kerja ), berupa madhi, mudhari dan amar.
 Perbedaan bentuk I’rab
Perbedaan sebab pengurangan dan penambahan kata
Perbedaan sebab mendahulukan dan mengakhiri
Perbedaan sebab penggantian huruf
Perbedaan lahjah.

Sebab-sebab perbedaan qira’at
Perbedaan qira’at Nabi. Artinya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya Nabi pernah membaca surat As-Sajdah ayat  17 yang berbunyi:
               
Artinya: Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.

Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslim waktu itu. Hal yang menyangkut dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an . 
Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
Adanya lahjal atau dielak kebahasaan dikalangan bangsa arab pada masa turunya Al-Qur’an.

Klasifikasi Qira’at Al-Qur’an
Para ulama telah membahagikan pada enam tingkatan iaitu Qiraat Mutawatir, Qiraat Masyhur, Qiraat Ahad, Qiraat Syaz, Qiraat Maudhu’ dan Qiraat Mudraj.
a.       Qiraat Mutawatir
Qiraat Mutawatir adalah qiraat yang diriwayatkan oleh orang ramai yang tidak mungkin mereka berdusta. Para ulama mahupun para ahli hukum Islam telah sepakat bahawa qiraat yang berkedudukan Mutawatir adalah qiraat yang sah dan rasmi sebagai qiraat Al-Quran. Ia sah dibaca di luar dan di waktu solat dan qiraat ini juga yang dijadikan pedoman bagi sumber penetapan hukum.
b.      Qiraat Masyhur
Qiraat masyhur adalah qiraat yang sah sanadnya tetapi tidak sampai pada peringkat Mutawatir, dan sesuai dengan kaedah bahasa Arab serta sesuai pula dengan resam ‘Uthmani. Juga masyhur di kalangan para qurra' dan tidak terdapat cacat.
Daripada definisi di atas dapat difahami bahawa qiraat yang dianggap masyhur adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi bilangan perawinya tidak sebanyak qiraat Mutawatir. Perawinya memenuhi syarat jujur, adil dan kuat hafalannya. Selain itu juga mesti sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan sesuai pula dengan mashaf yang dikumpulkan Khalifah ‘Uthman bin Affan. Namun dalam hal ini ia tidak sampai pada tahap Mutawatir. Qiraat Masyhur ini tidak terdapat cacat sedikit pun dan wajib diakui sebagai Al-Quran dan tidak boleh dimungkiri. Contoh qiraat Masyhur ini adalah qiraat yang dipopularkan oleh Abu Ja’afar bin Qakqak dan Yakkub Al-Hdharami.
c.       Qiraat Ahad
Qiraat Ahad ialah qiraat yang sah sanadnya, tetapi menyalahi atau tidak sesuai dengan resam ‘Uthmani dan kaedah bahasa Arab atau tidak masyhur sebagaimana dua qiraat yang tersebut di atas. Qiraat Ahad ini pada dasarnya sanadnya benar tetapi tidak sesuai dengan tulisan yang dibacanya, tidak sesuai dengan kaedah bahasa ‘Arab, dan tidak meluas seperti qiraat pertama dan kedua. Qiraat ini tidak digunakan untuk membaca Al-Quran dan tidak boleh diyakini kebenarannya. Contohnya ayat 26 surah al-Rahman, perkataan ‘rafrafin’ dibaca ‘rafarifa’ dan ‘wa’abqoriyyin’ dibaca dengan ‘wa’abaqiriyya’.
d.      Qiraat Syaz
Qiraat syaz ialah bacaan yang sanadnya tidak sah. Contoh qiraat syaz ini adalah bacaan Ibnu Syumaifa' dalam membaca firman Allah surah Yunus, ayat 26 apabila kalimah-kalimah ‘nunajjika’ dibaca sebagai ‘nunahhika’ (huruf jim dibaca ha) dan ‘kholfaka’ dibaca sebagai ‘kholafaka’(huruf lam difathahkan).
Bacaan tersebut diriwayatkan oleh Hakim daripada ‘Asim bin Al-Jahdari daripada Al-Barkah, katanya dia mendengar Rasulullah membaca sedemikian.
e.       Qiraat Maudhu’ (palsu)
Qiraat Maudhu’ adalah qiraat yang dibangsakan kepada yang mengatakannya tanpa diketahui asalnya. Jadi qiraat ini dibuat-buat dengan menyandarkan kepada seseorang tanpa diketahui dan tidak memiliki sanad ataupun rawi. Contohnya qiraat Imam Muhammad bin Ja’afar Al-Khuza'i (Abdul Fadhal Muhammad bin Ja’afar) dalam membaca firman Allah s. w. t. dalam surah Fatir, ayat 28 dengan membaris depan perkataan Allah daripada ‘Allaha’ kepada ‘Allahu’ dan memfathahkan perkataan ulama daripada ‘al-‘ulama-u’ menjadi ‘al-‘ulama-a’.
f.       Qiraat Mudraj
Qiraat Mudraj adalah bacaan yang ditokok tambah dengan kalimah-kalimah lain sebagai tafsiran. Dalam qiraat ini lafaz-lafaz atau ayat-ayat Al-Quran ditokok tambah dengan lafaz lain yang tujuannya untuk memperjelas maksud Al-Quran. Dengan demikian ayat-ayat yang dibaca bertambah daripada yang sebenarnya. Maka bagi orang awam sukarlah untuk membezakan yang mana ayat Al-Quran dan yang mana tokok tambahnya atau pentafsirannya. Contohnya seperti qiraat Sa’ad bin Abi Waqas dalam membaca firman Allah surah An-Nisa', ayat 12 yaitu dengan menambahkan lafaz ‘min ummin’ selepas kalimah ‘ukhtun’.


Urgensi Mempelajari Qira’at dan Hubunganya Dengan Istinbath Hukum

Manfaat mempelajari qira’at Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syarat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih bersifat global dalam qira’at.
Memperbesar pahala.

Pengaruhnya Dalam Istinbath (penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan  terkadang berpengaruh dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu:
Surat Al-Baqarah[2] ayat 222 yang artinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah kotor. Oleh sebab itu,hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid dan janganlah kamu mendekatinya sebelum mereka bersuci. Apabila mereka sudah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.(Q.S. Al-Baqarah:222)
Berkaitan dengan ayat diatas, Diantara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah  (qira’at `Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah dan Al-Kisa’i membaca kata“ yathhubarna”dengan memberikan Syiddah pada huruf  tha dan ha. Maka bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at para ulama fiqh berbeda pendapat dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid.
Surat An-Nisa’[4] ayat 43
Perbedaan qira’at terdapat 3 versi pendapat para ulama mengenai maksud kata yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at, para ulama fiqh ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dengan perempuan membatalkan wudu’. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudu’ kecuali kalau berhubung badan.
Surat Al-Ma’idah [5] ayat 6
Nafi’, ibn ‘Amir,Hafs dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum”.  Dengan membaca “arjulakum”, ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini diperkuat dengan beberapa hadits. Ulama-ulama Syi’ah Imamiyah berpegang bacaan “arjulikum” sehingga dia mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudu’.   
















PENUTUP
Kesimpulan
Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan atas riwayat yang bersambungan kepada Nabi. Jadi bersifat tauqifi, bukan ijtihad. Ruang lingkup perbedaan qira’at menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami merasa memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sekali kritikan, masukan dan saran yang dapat membangun dan memotivasi kami sehingga dengan hal tersebut dapat dijadikan koreksi dimasa yang akan datang. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat serta menjadi amal bagi kami selaku penyusun dan penulis makalah sebagai tugas yang diamanahkan kepada kami. Aamiin.









DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syadali. 2000. “Ulumul Al-Qur’an. Bandung:CV Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon. 2008. “Ulumul Al-Qur’an. Bandung:CV Pustaka Setia.
Zaini, Hasan dan Hasnah, Radhiatul. 2011. “Ulumul Al-Qur’an”.         Batusangkar:STAIN Batusangkar Press.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada, Jakarta
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.S



Tidak ada komentar:

Posting Komentar