Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH PEMBAHASAN ISTISHHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

ISTISHHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

DEFENISI ISTISHHAB
Secara etimologi, Istishhab berarti menyesuaikan sesuatu. Sedangkan menurut  terminologi ahli ushul fikih istishhab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya, orang yang sudah berwudhu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal hal yang demikian lah yang memerlukan Istishhab. Istishhab juga dapat diartikan sebagai menjadikan hukum yang telah tetap dimasa lalu diteruskan sampai sekarang, selama tidak ada yang merobah .
Menurut bahasa Istishhab juga bisa diartikan sebagai ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, istishhab ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Dengan kata lain, istishhab ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Adapun defenisi istishhab menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
Asyaukani
Istishhab yaitu tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang merubahnya.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)
Istishhab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.
Asy Syatibi
Istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Jadi, hukum yang telah ditetapkan dari masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
DASAR HUKUM ISTISHHAB
Adapun dasar hukum istishhab terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 32:
                              
Artinya: “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Sebenarnya istishhab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
KEHUJJAHAN/KEDUDUKAN     ISTISHHAB
     Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa Istishhab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Itishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Sementara itu, Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishab. Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan istishab macam yang keempat, yaitu istishab al-washfi, dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut :
Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.
 Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-washfi hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru.
Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selain tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka. Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
     Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saj yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalil lah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
BENTUK-BENTUK ISTISHAB
Macam-macam Istishhab menurut  Kalangan ahli ushul fikih adalah sebagai berikut:
Istishab     al-Bara’ah    al-Ashliyyah
     Yaitu istishhab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل فى لأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدليل على التحريم
Istishab     al-Ibahah     al-Ashliyyah
     Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
Istishab     Ma     Dalla     al-Syar’u ‘    ala     Tsubut
     Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Istishab     al-Washfi
     Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.
Istishhab memiliki tiga bentuk, seluruhnya hujjah :
Istishab baroatul ashliyah (tetapnya hukum asal) sehingga ada sesuatu yang memindahkan dari hukum asalnya. Inilah yang dimaksud dengan isthishab tatkala dimutlakan.
Istishab dalil syar’i sehingga datang yang memalingkannya.
Istishab sifat yang menetapkan hukum syar’i sehingga adanya yang
menyelisihinya.
Isthishhab dengan ketiga macamnya tidaklah menetapkan suatu hukum yang baru. Ia hanya menunjukkan keberlangsungan hukum terdahulu, yang tetap dengan dalil yang dianggap/dipercaya. Oleh karenanya, ia bukanlah dalil yang berdiri sendiri yang diambil faidah hukum. Tapi ia merupakan salah satu cara melaksanakan\menjalankan dalil. Tidaklah berpaling padanya kecuali tatkala tidak adanya dalil khusus di dalam masalah tersebut. Ia merupakan langkah terakhir dalam sandaran fatwa, jika seorang mujtahid telah mencurahkan kemampuan di dalam pembahasannya pada dalil-dalil namun tidak mendapatkannya; maka dia kembali padaisthishab. Adapunisthishab dijadikan sebagi suatu hukum ijma di dalam menyelesaikan masalah maka bukanlah hujjah menurut pendapat yang terpilih.
Pembagian istishab ada 4 macam yaitu:
Istishab al-Bar’at al-ashliyah
Istishhab yang ditunjukan oleh syara atau akal, seperti seorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
Istishhab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
Istishab washaf. Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. Prof. Muhammad Abu Zahra mengatakan: bahwa setiap fuqaha menggunakan Istishab dari macam a sampai c, sedang mereka berbeda pendapat, ulama-ulama syafi’iyah dan Hanabillah menggunakan istishab washaf secara mutlak dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru, sedangkan ulama malikiyyah hanya menggunakan istishab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada, sedang untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.
IMPLIKASI DAN KAEDAH-KAEDAH ISTISHHAB
Kaidah-kaidah istishhab antara lain sebagai berikut:
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.







DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, 2005. Jakarta: Kencana
Ramayulis, dkk, Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh, 1989. Jakarta: Kalam Mulia
http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/istishab.html
http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html
http://rismaalqomar.wordpress.com/2010/03/05/sumber-hukum-islam-istishab/
http://usulfiqih-rizky.blogspot.com/2011/04/al-istishab.html
http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/istishab-sebagai-dalil-ushul-fiqh.html






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar