Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG SUNAH SEBAGAI SUMBER/DALIL HUKUM ISLAM

SUNAH SEBAGAI SUMBER/DALIL HUKUM ISLAM
   
Definisi Sunnah
Kata “sunah” (        ) berasal dari kata      .Secara etimologis berarti: cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan sunah dal arti ini terlihat dalam sabda Nabi yang artinya “Siapa yang membuat sunah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakan dan barangsiapa yang membuat sunah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”. (Amir Syarifuddin, 2009: 86)
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “sunah” dalam 16 tempat yang terbesar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 137:

               
137. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)
Sunah     dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntunan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. 
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sunah adalah ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi SAW.

Macam-macam Sunnah
Sunah menurut pengertian ahli ushul sebagaimana yang disebutkan di atas terbagi menjadi tiga macam, yakni:

Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW. Yang didengar dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan Wahyu Al-Qur’an. Al-Qur’an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar oleh para sahabat dan disiarkan kepada orang banyak.
Dengan demikian, menurut lahirnya Al-Qur’an dan sunah qauliyah sama-sama muncul dari lisan Nabi. Namun, walaupun berbeda, para sahabat dapat membedakannya yaitu:
Bila yang lahir dari lisan Nabi itu adalah Al-Qur’an, maka Nabi menyuruh untuk menghafal dan menulisnya, sedangkan jika sunah qauliyah,  Nabi melarang untuk menulisnya.
 Al-Qur’an dinukilkan oleh banyak orang (mutawatir), sedangkan sunah qauliyah hanya didengar dan diketahui oleh beberapa orang saja.
Penukilan Al-Qur’an dalam bentuk lafaz atau teks aslinya, sedangkan sunah qauliyah dinukilkan secara ma’nawi atau dalam pengertian: disampaikan kepada orang lain dengan redaksi dan ibarat yang berbeda meskipun dalam maksud yang sama.
Apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat Al-Qur’an mempunyai daya pesona atau mukjizat  bagi pendengarnya, sedangkan sunah qauliyah hanya ucapan biasa dari Nabi.
Umpamanya para sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi bersabda, “Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”

Sunah Fi’liyah
Sunah fi’liyah adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh para sahabat Nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang menetahuinya.
Tentang apakah semua yang di nukilkan itu mempunyai kekuatan untuk diteladani dan mengikat untuk semua umat Islam, para ulama memilah perbuatan Nabi itu menjadi tiga bentuk, yaitu:
Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa, seperti: cara makan, minum,, tidur, berdiri, duduk, berpakaian, memelihara jenggot dan lain-lain. Adapun pendapat ulama bahwa sunah ini mempunyai daya hukum untuk diikuti, dan sebagian ulama berpendapat bahwa sunnah ini hanya kebiasaan Nabi dan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk diikuti.
Perbuatan yang hanya berlaku untuk Nabi sendiri, sedangkan untuk umatnya tidak diwajibkan, seperti: wajibnya shalat dhuha; shalat wirir; shalat tahajud tengah malam; berkurban; menikah lebih dari empat orang; masuk makkah tanpa ihram.
Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti: shalat; puasa; cara Nabi melakukan jual beli, utang-piutang, dan lain-lain yang berhubungan dengan agama. Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum ini terbagi dua yaitu:
Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an namun masih memerlukan penjelasan.
Perbuatan Nabi yang memberi petunjuk kepada umat bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh umat.
Kedua bentuk perbuatan tersebut berlaku secara umum untuk Nabi sendiri maupun untuk umatnya.
Umpamanya sahabat berkata, “Saya melihat Nabi Muhammd SAW. melakukan shalat sunat dua raka’at sesudah shalat zuhur.”
Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan atau sepengatahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi dan dicegah oleh Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Namun, Nabi mengetahui dan kadang tidak tidak mengetahui si pelaku berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu, maka Nabi diam. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Nabi belum pernah melarangperbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan untuk dibuat. (Amir Syarifuddin, 2009: 89-96)
Umpamanya seorang sahabat memakan dhab di depan Nabi. Namun, Nabi tidak melarang atau keberatan. Maka kisah ini disampaikan oleh sahabat, “Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab didekat Nabi. Nabi mengatahui , tetapi Nabi tidak melarang perbuatan tersebut.”
Kedudukan / Kehujjahan Sunnah
Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunah kadang-kadag memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan diterima oleh semua pihak. (Amir Syarifuddin, 2009: 111).
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunah Rasulullah SAW dalam tiga bentuk di atas (fi’liyyah, qauliyyah, dan taqririyyah ) meruipakan sumber hokum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. (Nasrun Harun, 1997: 47).
Jumhur ulama berpendapat bahwa sunah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan dalil dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 59 dan 80:
      
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),.(QS. An-Nisa’ : 59)
           
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’: 80)
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan sunah sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur’an serta sebagai bayani,  yakni menjalankan fungsi yang  menjelaskan hukum Al-Qur’an.
Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an
Dalam uarian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang, -secara amaliah- belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunah. Dengan demikian fungsi sunah yang utama adalah menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl (16): 64:
        
Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.

Dengan demikian, bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber alsi bagi hukum fiqh, maka sunah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini sunah hanya seperti mengulangi apa-apa yang disebut dalam Al-Qur’an. Umpanaya firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 110:
   
Dan dirikan shalat dan tunaikan zakat.

Ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya: “Islam itu didirikan dengan lima fondasi:kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat…”.

Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an;
Merinci apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an disebutkan dalam garis besar;
Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum;
Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Menetapkan suatu hukum dalam sunah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa bahwa sunah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi sunah dalam bentuk ini disebut “itsbat” dan “insya”. (Amir Syarifuddin, 2009: 100-102).
Umpamanya Allah mangharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat Al-Maidah (5): 3:
          
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.        Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim: “ setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan”.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi sunah diantarnya sebagai menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an, memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an, dan menetapkan suatu hukum dalam sunah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar