Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG IJMA’ SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM ISLAM

IJMA’ SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM ISLAM

Pengertian Ijma’
Menurut Satria Efendi (2009:125) Kata Ijma’ secara bahasa berarti” kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalnagan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah wafat.
Dengan kata lain, Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al-Qur’an dan Hadist). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan Hadist yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Menurut Amir Syarifuddin (1997) secara bahasa, ijma’ mengandung dua macam arti, yaitu :
Ijma’ dengan arti العزم على الشئ  atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.
Ijma’ dengan arti إتفاق“kesepakatan”.
Sedangkan ijma’ menurut istilah didalam Lathaif al-Isyarah adalah:
اتفاق كل مجتهدى علماء الفقه أهل العصر من أمة سيدنا محمد ص.م. بعد وفاة نبيها ص.م. على حكم الحادثة
“kesepatan yang terjadi antara seluruh mujtahid ulama ushul fiqh, pada suatu masa, para mujtahid ini adalah umat Muhammad SAW sesudah wafatnya terhadap hukum-hukum yang baru”

Dari defenisi diatas jelaslah bahwa ijma’ adalah kesepakatan yang disepakati oleh mujtahid ulama fiqh terhadap hukum-hukum baru yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW berlaku pada hukum syari’at yang bersifat amali yang muncul kemudian, bukan syari’at yang bersifat i’tiqadiy dan khuluqiy.
Hakikat dari suatu ijma’ sekaligus yang merupakan hukum ijma’:
Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’, terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid, karena kesepaktan itu tidak berarti bila yang sepakat itu hanya seseorang.
Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis dan golongan mujtahid.
Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu. (Amir Syarifuddin:1997)

Dasar Hukum Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah sesudah al-Quran dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalan al-Quran maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini jumhur disebutkan dalam surat an-nisa ayat 115:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”



Dan juga didalam hadits nabi yaitu:   
أمتي لا تجتمع على الخطإ أمتي لاتجتمع على الضلالة لم يكن الله بالذي يجمع أمتي علي الضلالة لم يكن الله ليجمع أمتي علي الجطإ
“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan, umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan, Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan, Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan” (Amir Syarifuddin:1997)
Kedua dalil tersebut menjelaskan, bahwa ijma’ bisa menjadi landasan hukum dalam menetapkan suatu perkara. Jelaslah, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang ketiga, setelah Al-quran dan sunnah.
Kehujjahan Ijma’
Menurut Nasrun Haroen (1997:54)  jumhur ulama ,ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan dalam ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber hukum sesudah al-Quran dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-quran maupun sunnah. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dalil-dalil diatas.( Amir Syarifuddin:1997)
Ulama syi’ah tidak mendudukkan ijma’ itu sebagaimana yang dilakukan oleh ulama ahl al-sunnah. Meskipun ulama syi’ah mengakui adanya ijma’ sebagai salah satu dalil syara’, namun bagi ulama syi’ah ijma’ sma sekali bukan lembaga yang dapat menetapkan hukum syara’ sebagaimana yang dianggap oleh ulama ahl al-sunnah.
Sedangkan ulama khawarij menerima ijma’ secara sangat terbatas, yaitu yang terjadi pada masa sebelum terjadinya perpecahan dikalangan umat islam yang dimulai sejak perpecahan tidak mungkin adanya kesepakatan menyeluruh sedangkan kekuatan ijma’ terdapat pada kesepakatan tersebut. Denga demikian menurut mereka ijma’ sangat sulit terjadi.

Aplikasi Ijma’ dizaman Kontemporer
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma‘ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum.
Konsensus atau ijma‘ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma‘ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma‘) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya.
Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma‘ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma‘ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma‘ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma‘ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf.
Gagasan ijma‘ yang agak luas dikemukakan al-Syafi‘i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma‘ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal.
Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Fatwa berubah dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan, serta adat yang berlaku. Berdasarkan hal ini, maka sudah menjadi kewajiban orang yang berfatwa dalam urusan kontemporer untuk menjelaskan bentuk urusan tersebut. Ketika menjelaskan hukum dan untuk memberikan batasan hukum dengan bentuk masalahnya secara khusus, serta menjelaskan dasar hukumnya. Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal:
Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya).
 Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus. Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.
Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).

Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang. Padahal zaman sekarang ini permasalahan umat semakin kompleks dan membutuhkan jawaban instant dan cepat, jika ijma’ tidak dapat dilakukan maka penyelesaian permasalahan akan mengalami kemandegan. Sebagaimana yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah sejumlah mujtahid, dan mungkin saja cara ini dapat menggantikan posisi ijma’. Ijma’ sangat kental dengan yang namanya ijtihad, dan jika memang ijma’ tidak mungkin dilakukan pada masa kini maka bukan berarti ijtihad juga tertutup, tetapi ijtihad akan lebih akurat jika dilakukan dengan sistem musyawarah dan bertukar pikiran diantara orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dalam agama atau yang disebut ijtihad kolektif.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.

Kecondongan mempermudah dan meringankan fatwa tanpa melihat kepada maqashid syariat.hal ini terjadi berdasarkan anggapan inilah yang paling pas dengan keadaaan manusia di zaman ini, disebabkan berpalingnya mereka dari sikap komitmen dengan hukum agama, karena sibuk dengan gemerlap kehidupan, sehingga di tuntut untuk mendekatkan agama kepada jiwa yang lemah-lemah agar kemudiaan menerima dan mencari hukum syara’, ini perkara wajib khususnya perkara yang mempermudahh mesti memiliki dasar yang menguatkannya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fiqih.
Diantara contohnya adalah fatwa dari ulama tentang kebolehan wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram. Fatwa ini menampakkan memberikan kemudahan pada manusia. Padahal sebenarnya malah sebaliknya dilihat dari terjadinya kepadatan jamaah haji. Hal ini akan memunculkan kemudharatan bagi sebagian jamaah haji atau kematianya. Khususnya bila mereka orang-orang lemah seperti jompo,orang sakit dan perempuan.







DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syarifuddin, Amir.1997. Ushul Fiqih Jilid I. Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar