Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

BAB II
ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

Pengertian Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad  yang di perselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, para ulama mengunakannya secara praktis, istihsan menurut bahasa yaitu, berbuat sesuatu yang lebih baik.
Dilihat dari pengertian, secara etimologis ( lughawi ) istihsan adalah memperhitungkan sesuatu yang lebih baik atau adanya sesuatu itu lebih baik maupun mengikuti yang lebih baik, ada juga mencari yang lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu.
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi ia hanya tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Oleh yang demikian, ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Shafi’i dam ulama shafi’I serta sebahagian ulama Hanbali.
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahwa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebahagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum.

 Hal ini kerana hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah S W T. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Dasar Hukum
Al- Qur’an
Az-zummar 18

               
Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Al- Hajj 78
                                                    
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.

Al-Baqarah 185
                                                 
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”


Hadist
 “Anas ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang dipahami syarat-rukunya.”

“Sesuatu yang dipandang baik oleh ummat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah.”

Pandangan Ulama
Seputar Aplikasi Istihsan Sebagai Hujjah Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam. Berikut ini adalah pandangan para ‘ulama dalam menyikapi istihsan sebagai salah satu piranti yang digunakan hujjah hukum.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama usul fiqih sepakat bahwa Imam Abu Hanifah adalah salah satu madzhab empat yang sering menggunakan istihsan dalam memutuskan perkara, berfatwa dan mengistinbati hukum, namun pengertian istihsan tidak berasal darinya, muridnya-lah yang kemudian memberikan rumusan sebagaimana yang masyhur di kalangan Hanafiyah.
Banyak dikenal di kalangan para ulama’ Hanafiyah, bahwa Imam Abu Hanifah sering menggunakan istihsan dalam berfatwa, begitluah yang disampaikan oleh Abu Zahrah. Maka tidak mengherankan bila dalam fiqh Hanafiyah banyak hal yang menyangkut istihsan.
Mazhab ini membagi istihsan dalam dua qiyas: jaly (jelas) namun lemah pengaruhnya, dan qiyas khafy (sama) namun memiliki perenan yang kuat dalam mewujudkan tujuan hukum, dan yang kedua inilah yang menjadi pilihan bagi mereka. Dari pembagian qiyas di atas, maka kemudian Madzhab ini membagi istihsan menjadi empat:
Istihsan dengan nash
Contoh hadits yang menerangkan sahnya puasa bagi orang yang makan minum akibat lupa.
Qiyas jaly : Puasa batal disebabkan makan minum.
Qiyas khafy : Puasa tidak batal, bila disebabkan oleh lupa berdasarkan Hadits: “Berpuasalah atas puasamu! Karena sesungguhnya Allah member makan-minum kepadamu.” (HR. Ahmad)
Istihsan atas dasar ijma’
Contoh mandi di kamar mandi umum yang disewakan tanpa ada tarif yang ditentukan dan tidak ada ketentuan yang mengatur lamanya di kamar mandi.
Hukum sewa : Hal ini termasuk ketentuan sewa yang semestinya memiliki ketentuan yang jelas untuk harga dan waktunya.
Ijma’ : Tapi berdasar kebiasaan yang ada, maka ijma’ sepakat ketentuan tersebut tidak perlu diadakan.
Istihsan karena darurat atau karena adanya pertentangan dua qiyas.
Contoh pada pengharaman bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah.
Hukum asal : Bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah adalah diharamkan untuk dimakan.
Dua qiyas yang bertentangan:
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain.
Bahaya harus dihilangkan.
Darurat : Bila hukum ini diterapkan pada orang yang dalam kondisi darurat (tidak menemukan makanan kecuali yang diharamkan) maka dikhawatirkan bahaya yang lebih besar, kematian. Maka ia dibolehkan untuk memakannya dengan wajar.
Istihsan dengan mengutamakan qiyas khafy
Contoh seorang penjual dan pembeli bertengkar mengenai harga barang yang belum disepakati oleh pembeli. Pembeli merasa harga barang telah ditentukan Rp 90.000,-, sedangkan penjual menuntut harga tambahan menjadi Rp 100.000,- sebab ia merasa belum menentukan harga Rp 90.000,-. Karena kedua belah pihak sama-sama menuntut, menurut qiyas jaly penjual harus mengemukakan bukti (bayyinah) yang membuktikan bahwa penjual belum menentukan harga Rp 90.000,- (sebagaimana yang diklaim pembeli) dan pembeli diperintahkan mengucapkan sumpah yang menerangkan bahwa harga yang disepakati adalah Rp 90.000,-. Bila kemudian penjual tidak bisa membuktikkan bahwa harga barang yang disepakati adalah Rp 100.000,-. Menurut qiyas khafy yang dikuatkan adalah harga Rp 90.000,- sebab si penjual juga mengucapkan sumpah.
Al-Malikiyah
Asy-Syatibi sebagai salah satu pemuka Madzhab Maliki berpendapat, bahwa istihsan adalah dalil kuat yang bisa digunakan sebagai landasan hukum. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Abu Zahrah yang mengatakan bahwa Imam Malik sering berfatwa menggunakan istihsan.
Al-Hanabilah
Madzhab ini mengakui keberadaan istihsan sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Amudi dan Imam Abu Hanifah. Namun Al-Jalal Al-Mahlli mengatakan dalam kitab Syarh Jam’i al-Jawami’, bahwa istihsan hanya diakui oleh Imam Abu Hanifah dan diingkari oleh ulama’ lain.
Madzhab Hanbali, yang diwakili pemikiran Ibnu Qudamah,
 ia membagi arti istihsan menjadi tiga pengertian:
Meninggalkan hukum suatu masalah secara teoritis karena ada dalil dari Qur’an atau sunnah.
Sesuatu yang dianggap baik menurut akal seorang mujtahid.
Meninggalkan dalil yang dipandang cacat oleh seorang mujtahid dan mengambil dalil lain yang lebih tepat.
Asy-Syafi’iyah
Tidak ada keraguan dalam berbagai karya seputar usul fiqh, bahwa Imam Asy-Syafi’ tidak mengakui adanya istihsan dan menjahuinya dari penggunakannya sebagai dalil hukum. Hal in bisa dilihat dari pendapat Imam Asy-Syafi’i sebagaimana diterangkan sebelumnya oleh penulis.
Imam Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa pemberlakuan ijtihad terhadap suatu masalah hukum tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil yang mendukung, dan salah satu dari dalil-dalil tersebut adalah qiyas. Dalam hal penggunaan qiyas, Imam Asy-Syafi’i terkenal sering menggunakannya sebagai metode pemecahan hukum, sepertihalnya prinsip ‘ain qaimah atau tasybih ‘ain qaimah (nilai umum yang menjadi sandaran analogi), maka ia menyimpulkan bahwa istihsan tidak lebih dari membuat hukum dengan dasar taladzudz (kesenangan) dan ta’assuf (mengada-ada) sesuai keinginan hawa nafsu.

Kedudukan / Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode / dalil dalam menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabilah, Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat Al-Baqarah, 2:185;
“Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”
Rasulullah dalam riwayat ‘Abdillah ibn Mas’ud mengatakan: Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga dihadapan Allah adalah baik. (H.R.Ahmad ibn Hambal).
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Dan menurut Imam al-Syathibi, beliau menjadikan kaidah istihsan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ bukanlah didasarkan kepada akal semata, tetapi didasarkan kepada nash dan ijma’.
Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i adalah:
1.   Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-qur’an dan atau sunnah) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas.
2.    Sejumlah ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-qur’an dan sunnah sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa’, 4:59.
3.    Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hukum berdasarkan istihsan, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nash.
4.    Rasulullah SAW, tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. Menurut Imam Al-Syafi’i, jika Rasulullah saja tidak mau menetapkan hukum berdasarkan istihsan, maka sewajarnya, bahkan wajib bagi umat islam untuk tidak menetapkan hukum atas dasar landasan istihsan.
5.    Rasulullah SAW. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
6.    Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.( Nasru Harun, 1997: 108-111)

Macam-macam Istihsan

Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas,istihsan ada tiga macam
Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas-dharir(qiyas jali)kepada yang dikehendaki oleh qiyas-khafi.dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas dharir dalam mentapkan hukumnya,tetapi menggunakan qiyas khafi karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat jalan dan sumber air minum.
Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.jadi meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak diginakan dan seabagai gantinya digunakan dalil khhusus.contohnya penerapansanksi hukum terhadap pencuri.
Beralih dari tuntutan hukum kullli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.umpamanya wakafyang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi(orang yang diampu karena belum dewasa).
b. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk    menempuh cara istihsan oleh mujtahid istihsan terbagi atas empat macam:
Istihsan yang sandaranya adalah qiyas khafi.dalam hal ini si mujtahid meniggalkan qiyas yang pertamaa karena ia mnemukan bentuk qiyas yang lain dari satu segi memiliki kelemahan namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tingg hukum.cara seperti ini oleh simujtahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan hukum.contohnya adalah dalam menetapkan hukum bersih tidaknya air yang berkas dijilat burung buas.
Istihsan yang sandaranya adalah nash.dalam hal ini simujtahid dalam menetapkan hukum tiidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya.umpamanya dalam masalah jual beli slam.
Istihsan yang sandaranya adalah ‘uruf(adat)dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain  dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan.umpamanya penggunaan pemandian umum (kolom renang)
Istihsan yang sandarannya adalah darurat.dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian.umpamanya tidak diberlakukan nya hukum potong tangan terhadap pencuri karena pencuri itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat.
Namun macam-macam istihsan secara umum adalah:
Istihsan berdasarkan nash
Yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas(al-quran/sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.contohnya orang yang lupa makan pada bulan puasa.  Namun Hadist Rosulullah menegaskan bahwa  makan dalam keadaan lupa disiang hari ramadhan tidak membatalkan puasa ”shum ‘ala shaumika fainnama ath’amaka allah wasaqak” dari abu hurairohnabi saw bersabda “barang siapa lupa padahal ia sedang puasa kemudian ia makan dan minum hendaklah menyelesaikan puasanya hanya saja allah yang memberinya makan dan minum.
Istihsan berdasarkan ijma’
Misalnya pesanan untuk membuat lemari menurut kaidah umum praktik seperti itu tidak dibolehkan karena pada waktu mengadakan akad pesanan barang yang akan dijual belikan tersebut belum ada.memperjual belikan barang yang belum ada waktu melakuakn akad dilarang di dalam hadist rosulullah,namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian karena tidak seorang pun ulama yang membantah kebelakuannya dalam masyarakat sehingga dianggap sudah disepakati (ijma’)
Istihsan yang bedasarkan ‘urf(adat kebiasaan)
Misalnya boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku danlerkaka
s alat memasak.namum seperti yang dikemukakan oleh abdul karim zaidan wakaf hanyadibolehkanpada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah.dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebiut.

Istihsan yang di dasarkan atas maslahah mursalah
Misalnya mengharuskan ganti rugi atas diri seseorang penyewa rumah jikaperalatan rumah ituada yang rusak ditangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang diluar dugaan.
Istihsan karena darurat
Intisari ini ialah suatu qiyas yang mencakup hukum tertentu dalam suatu peristiwa yang terjadi,akan tetapi karena alasan darurat yang ditemukan seorang faqih menentuka hukum lain yang berbeda dengan tuntutan qiyas.contonya cuci sumur

Aplikasi Dizaman Kontemporer

Setelah dijelaskan bahwa istihsan ini digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan secara konvensional. Dengan cara konvensional ini kurang mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari pendekatan hokum. Dengan demikian para mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai alternative dari pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah isthsan.
Pada masa sekarang lebih-lebih pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan ini harus dihadapi oleh umat islam yang menuntut adanya jawaban mpenyelesaian dari segi hokum islam. Pada masa sekarang ini para ulama lebih cendrung menggunakan istihsan untuk menghadapi persoalan hokum perkembangan kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang.
Contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dari persoalan kehidupan sekarang ini adalah :
Masalah zakat, dalil syarak yang di kemukakan dalam kitab- kitab fiqh yang ada kebanyakan berbiucara dalam kaitannya dengan sector pertanian dan sedidikit sekali yang berkenaan dengan jasa dan produksi. Padahal pada masa sekarang perkembangan sector jasa dan produksi itu lah yang berkembang dengan pesatnya, dan lebih dominan di anding sector pertaniaqn yang semakin langka. Kalau dalam menghadapai kehidupan ekonomi pada masa sekareang dan masa akan datang khuhusnya yang menyangkut masalah zakathanya mengandalkan pendekatan lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi jika menggnakan ketentuan lama tentang zakat maka zakat tidak akan berkemang, karena sector pertanian semakin langka, sedangkan pihak yang mengharapkan bantuan melalui penghimpunan dana social melalui zakat semakin banyak. Umpanya, “zakat profesi” yang sampai saat ini belum di rumuskan hukumnya secara tuntas di Indonesia. Kalau masih menggunakan pendekatan dan dalil konvensional yang selama ini di gunakan, masalahnya tetap tidak akan terselesaikan. Karena itu di perlukan upaya untuk mencari alternative pendekatan lain untuk menyelesaikannya. Contohnya, yang berdalil dengan umumnya lafadz “ ma kasabtaum” yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 264 yang mana ayat tersebut sector jasa dan profesi secara jelas terkandung di dalamnya.




DAFTAR PUSTAKA

Harun, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syarifudin, Amir. 1997.Ushul Fiqh. Jakarta : Logos wacana ilmu
http://caktips.wordpress.com/2011/06/22/istihsan-langkah-cerdik-keluar-dari-kejumudan/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar