Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH PEMBAHASAN DEFENISI TA’ARUDH AL-ADILLAH

BAB II
PEMBAHASAN
DEFENISI TA’ARUDH AL-ADILLAH
Menurut Amir Syarifudin ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya. Secara etimologi, ta’arudh berasal dari kata aradha yang berarti dhahara, ashaba, naha nahwahu, dan ada yang mengartikan dengan pertentangan. Sedangkan adillah adalah jama’ dari dalil yang berarti alasan, argumentasi, dan dalil.
Adapun definisi ta’arudh al- adillah menurut para ahli ushul fiqh adalah sebagai berikut:
Imam Al Syaukani
Ta’arudh al- adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
Kamal Ibnu Al Humam
Ta’arudh al- adillah adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.
Ali Hasaballah
Ta’arudh al- adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.

Abdul Wahab Khalaf
Ta’arudh yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 234:

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Ayat tersebut tidak membedakan wanita itu hamil atau tidak. Secara umum, Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suami, maka iddahnya Selama 4 bulan 10 hari. Dalam firman Allah surat At-Talaq ayat 4:

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Allah SWT menyatakan bahwa masa iddah wanita yang hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak mebedakan antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati, iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.
Contoh lain yaitu hadits Rasulullah Saw adalah dalam masalah riba, dalam sebuah hadits Rasulullah dinyatakan:
“Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang)”
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain dari riba nasiah. Dengan demikian riba al-fad (riba yang timbul dalam transaksi jual beli atau yang lainnya) tidaklah haram. Akan tetapi dalam hadits lain dinyatakan:
“Jangan kamu menjual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama”.
Hadits ini mengandung bahwa riba al-fadl juga diharamkan.
Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil yang qath’i dengan dalil yang zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang qath’i atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al-Qur’an dengan Hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Qur’an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i, sedangkan hadits ahad bersifat zhanni. Dan pertentangan hukum dari dua dalil tidak mungkin akan terjadi pada dalil yang bersifat fi’liyah (perbuatan). Misalnya dalil menunjukan rasul berpuasa pada hari tertentu namun dalil lain juga mengatakan bahwa pada hari itu juga berbuka. 
Sedangkan Secara terminology, ta’arudh al- adillah adalah perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain.
CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADILLAH
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah (Jumhur Ulama)
Jam’u wa Taufiq
        Ini merupakan metode pertama menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zahiriyah yaitu dengan mengumpulkan dan mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukkan Hanafiyah diatas yaitu “Mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari pada meninggalkan salah satu diantaranya”.
        Mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan cara:
Apabila kedua hukum bertentangan itu bisa dibagi maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang terbilang, maka mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain.
Contoh hadits nabi: “Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga mesjid kecuali dimesjid.”
Dalam hadits ini kata “la” mempunyai banyak arti, yaitu bisa berarti tidak sah atau tidak sempurna.
Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum dan yang mengandung hukum khusus maka dalam hal ini dilakukan cara nasakh bukan dengan kompromi.
Tarjih
        Merupakan Apabila mengompromikan kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqih bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya, dengan menarjih yang perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad (para penurut hadits), bisa melalaui penarjihan dari sisi matan (lafal hadits), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain diluar nash.
Nasakh
        Pada penyelsaian Nasakh ini Apabila dengan cara tarjih, kedua dalil tersebut tidak bisa diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan. Misalnya sabda Rasulullah saw: yang artinya “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”.
        Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum yang terakhir adalah dibolehkan untuk meziarahi kubur, karena tidak ada lagi ‘illat (motifasi) larangan yang dilihat Nabi SAW.

Tasaqut Al-Dalilain
        Apabila cara ketiga, yaitu nasakh pun tidak bisa ditempuh, maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut. Menurut ulama Syafi’iyyah, malikiyyah, dan zahiriyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.                                                                                                                                                                            

Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara:
Nasakh
Adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama. Disini seorang mujtahid harus berusaha mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya di temukan bahwa satu dalil muncul terlebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang di ambil adalah dalil yang datang kemudian.
Dalam kasus pertententangan ayat yang berbicara tentang iddah wanita hamil diatas, misalnya menurut jumhur ulama, Abdullah Ibnu Mas’ud (sahabat) meriwayatkan bahwa kedua ayat kedua, yaitu menyatakan bahwa masa iddah wanita hamil sampai melahirkan (At-Talaq: 4), kemudian datang ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan bahwa iddahnya 4 bulan 10 hari. Oleh sebab itu, ayat 4 surat Talaq menasakh (membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 234.

Tarjih
Merupakan menguatkan salah satu dua dalil yang bertentangan berdasarkan dua indikasi yang dapat mendukungnya. Apabila masa turunnya atau datangnya dua dalil tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itupun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari 3 sisi:
Dari segi penunjuk kandungan lafal satu nash. Contohnya, menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-nasakh-kan atau dibatalkan dari mufasar (hukumnya pasti), tetapi masih bisa di-nasakh-kan
Dari segi hukum yang dikandungnya. Seperti menguatkan dalil mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.

Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyah, dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqih mengatakan, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
Contohnya dalam masalah darah dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 3:
   
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, dan darah”.
Darah dalam ayat ini tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman dalam surat Al-an‘am ayat 145:
      
Artinya:“Kecuali kalau makanan yang diharamkan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir. Darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat Al_Maidah ayat 3 adalah darah yang mengalir dalam surat Al_An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriah bertentangan dapat diselesaikan.
   
Tasaqut Al-Dalilain
    Yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila cara ketiga diatas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut: Dalam arti ia merujuk dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa di-nasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua ayat, maka mujtahid boleh mencari dalil yang kualitasnya dibawah ayat Al_Qur’an, yaitu Sunah.
    Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentangan dan cara-cara diatas juga tidak dapat ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat. Hal ini ditunjukkan bagi mujtahid yang menjadikan dalil syara’, sedangkan bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi).
    Menurut ulama Hanafiyah, Seorang mujtahid hanya diperbolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai pada cara keempat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ta’arudh al- adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara:
Nasakh
Tarjih
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Tasaqut Al-Dalilain

Saran
Bagi siapa saja yang membaca makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Mudah-mudahan  makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua dalam menjalankan segala aktifitas.





DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh.  Jakarta: Amzah
Uman, Chaerul, dkk. 2001. Ushul Fiqh II. Bandung : CV. Pustaka Setia
http://makalahzaki.blogspot.com/2011/06/taarudu-al-adillah.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar