Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG Pengertian Ijtihad

PEMBAHASAN
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata ijtihad yang dikemukakan oleh al-Ghazali,biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu tidak disebut berijtihad hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.
Menurut Abu Zahrah adalah “mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik mengistimbatkan hukum syara’ maupun dalam penerapannya, berdasarkan defenisi, ijtahad terbagi dalam dua macam yaitu ijtihad untuk membentuk atau mengistimbatkan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. Ijtihad bentuk pertama itu khusus dilakukan oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk mengistimbatkan hukum dari dalilnya. Sedangkan ijtihad dalam bentuk kedua yaitu ijtihad dalam penerapan hukum, akan selalu ada setiap masa, selama umat islam mengamalkan ajaran agama. ( Satria Efendi,2005:245-246)
Menurut Khairul uman (2001:131) ijtihad artinya mencurahkan  segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya.
Ahli tahqiq menemukkan bahwa ijtihad  adalah qiyas untuk mengeluarkan hukum dari kaidah – kaidah syara’ yang umum.



Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Khairul Uman(2001:131-132) boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash al-Qur’an.
Dasar hukum  diperbolehkannya melakukan ijtihad yaitu terdapat dalam firman Allah, QS al-Baqarah ayat 149
                      
“ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Nabi Muhammad SAW. memberi izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan Nabi memberi dorongan kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, kalau ijtihad tepat pada sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak, dia mendapat satu pahala.


Objek Ijtihad
Dalam hal ini lapangan ijtihad atau objek ijtihad adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak ada dalam al- Qur’an atau tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadist.
Menurut al-Gazali objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qatli’. Dari pernyataan itu, ada pemaslahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at islam dalam kaitanya dangan ijtihad,terbagi dalam dua bagian:
Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum- hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan salat, zakat, puasa, ibadah haji, haramnya melakukan zina,mencuri, dan lain-lain. Semua itu sudah ditetapkan  dalm alquran dan sunah.
Sepeti kewajiban shalat dan membayar zakat.
    ……….   
 dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat,”………
(Qs.An-nur-56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
Syari’at yang bisa dijadikan lapangaan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersipat zhanni, baik maksutnya, petunjuk, hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
Apabila nash yang keberadaanya masih zhanni,maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliti  bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya yang masih zhanni, maka menjadi lapangan ijtihad, misalnya dengan memakai kaidah ‘am. Khas,mutlaq muqayyat. Dan lain-lain.
Sedangkan terhadap masalah yang tidak ada nash-nya maka menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara mengunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah,dan lain-lain. (Rahmat Syafi’i, 1999: 106-107)
 

Syarat dan Tingkatan Mujtahid
Menurut Wahbab az-Zuhaili dalam buku Satria Efendi ( 2005:251-252)  menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang ijtahid:
Mengerti dengan makna-makna yang dikandung dalam al-Qur’an baik secara baik secara bahasa maupun secara istilah syara’.
Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’
Mengetahui tentang mana ayat atau hadist yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi  oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mana ayat atau hadist yang me- nasakh atau sebuah pnggantinya.
Mengetahui pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan menetahui tempat-tempatnya.
Mengatahui tentang seluk beluk qiyas
Menguasai  bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
Mengusai ilmu ushul fiqh
Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hokum
Mnurut Khairul Uman (2001:140-141) syarat yang harus dipenuhi dalam berijtihad adalah:
Menguasai bahasa Arab, Karena ini membantu mujtahid untuk memahami al-Qur’an dan sunnah. Disamping itu ia harus memiliki pegetahuan  luas tentang kaidah-kaidah ushuliyahi dan  lughawiyah untuk mempermudah dan membantu dalam memahami nash
Pengetahuan luas tentang kandungan  al-Qur’an sehingga mampu mengetahuai hukuk-hukum syara’ dalam al-Qur’an
Pengetahuan luas dalam kandungan  sunnah, hal ini akan memudahkan mujtahid dalam mencari hadis.
Adapun tingkatan mujtahid menurut Abu Zahrah dalam buku (Satria Efendi, 2005:256-257):
Mujtahid mustaqil (independen) adalah tingkatan tertinggi, karena mereka terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istimbat (ushul fiqh) maupun dalam furu’ (fiqh hasil ijtihad), maksudnya mereka sendirilah yang meneraokan metode istimbat itu dalam berijtihad itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fiqh. Seperti imam mujtahid yang empat.
Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuanny ia mampu merumuskannya, tapi berpegang pada ushul fiqh salah seorang mujtahid mustaqil
Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid  yang dalam ushuk iqh dan furu’ bertaqlid pada imam mutahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam meng-istimbt-kan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.
Mujtahid fit at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegitannya bukan meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingankan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulam-ulama mujtahid sebelumnya.

Pembagian Ijtihad
Secara garis besar ijtihd dibagi menjadi dua macam:
Ijtihad fardi, adalah setiap ijtihad  yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtajid lain menyetujuinya dalam satu perkara. contohnya ijtihad yang dilakukan oleh Muadz  ketika diperintahkan oleh rasul pergi ke Yaman, disitu dia menyelesaikan suatu perkara yang diperbolehkan oleh Nabi SAW.
Ijtihad jami’i, adalah semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin.seperti ijtihad ketika pemilihan khalifah pada masa sahabat.

DAFTAR PUSTAKA
    Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.2005
    Syafi’i, Rachmad, ilmu tafsir. Bandung:….. 1999
    Uman, khairul dan Aminudin Achyar.Ushul Fiqh II. Bandung: CV Pustaka Setia. 2001






Tidak ada komentar:

Posting Komentar