Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER/DALIL HUKUM ISLAM

 BAB I
PENDAHULUAN
A.ALASAN PENULISAN MAKALAH   
          Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT., yang mana atas limpahan Rahmat, Nikmat, dan Kehadirat Allah SWT., saya telah dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam tidak lupa buat Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa manusia ke zaman yang berpendidikan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
          Semoga Penulisan makalah saya ini bisa mendekati kesempurnaan, dan sesuai dengan kaidah penulisan maakalah yang sebenarnya, meskipun belum seutuhnya sesuai dengan kaidah penulisan makalah yang sesungguhnya. Dan kami selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari Dosen Pendamping dan kawan-kawan semua nya, untuk kebaikan makalah penulis dimasa yang akan datang.  Didalam penulisan makalah ini penulis menggunakan berbagai macam buku sumber atau referensi buku, itu semua karena keterbatasan ilmu dari penulis dan juga karena keterbatasan isi dari referensi buku sumber yang penulis gunakan sebagai bahan sumber untuk penulisan makalah kami ini. Mengenai buku sumber yang penulis gunakan, penulis mencantumkan identitas buku yang menjadi sumber makalah dicatatan kaki atau di daftar pustaka.
B.  RUANG LINGKUP PEMBAHASAN MAKALAH
          Ruang lingkup dari makalah mini yang kedua ini adalah Al-Qur’an Sebagai Sumber atau Dalil Hukum Islam
Pengertian Al-Qur’an               
Kedudukan (Kehujjahan) Al-Qur’an       
Memami dalalahnya terhadap hukum
Kejelasan makna Al-Qur’an
Penjelasannya terhadap hukum
BAB II
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER/DALIL HUKUM ISLAM
A.Pengertian  Sumber dan Dalil
Kata “sumber” dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari lafaz :(         ) , jamaknya: (        ).  Dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil hukum berarti suatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Sedangkan dalil itu berasal dari bahasa arab (           ), yang secara etimologis berarti sesuatu yang dapat menunjuki.      

B.Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a        (        ) se-wazan dengan kata fu’lan (          ), artinya bacaan; tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah.
Qur’an digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an.
 “lafaz berbahasa Arab yang dituruinkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang dinukilkan secara mutawatir (amir Syarifuddin, 2009: 55-56)
“Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan, sedangkan menurut Istilah Ushul fiqih yang dimaksud dengan Al-Qur,an adalah Qalam (perbuatan) Allah yang diturunkan Nya dengan perantaraan Malaikat jibril kepada Nabi Muhammad S.A.W,dengan bahasa Arab, sehingga dianggap beribadah membacanya” (Satria Efendi, 2005: 79).
“Al-Qur’an merupakan Qalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, apabila bukan Kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad S.A.W, maka itu tidak dinamakan Al-Qur’an, seperti Zabur, Taurta, Injil, ketiga memang disebut dengan Kalam Allah, tapi tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad, maka tidak dinamakan Al-Qur’an” (Nasrun Haroen, 1997: 21)
“Secara terminologi, Al-Qur’an adalah Kalam Allah S.W.T yang tiada tandingnya (mukjizatnya), diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, penutup para nabi. Perantara Malaikat Jibril yang dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-Nas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara muthawatir, serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah” (Hasan Zaini, Radhiatul Hasnah. 2011: 21-22).
Dari penjelasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allahh S.W.T yang ditulis dalam bahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W melalui perantara Malikat Jibril, dan ditulis dalam Bentuk mushaf-mushaf dan disampaikan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah disisi Allah S.W.T, dan dijadikan sebagai pedoman utama dalam kehidupan umat Islam.

C. Kedudukan atau Kehujjahan Al-Qur’an
Para Ulama Ushul fiqih sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib untuk diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagu hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ulama Ushul fiqih tentang kewajiban berhujjah terhadap Al-Qur’an diantaranya sebagai berikut:
Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah S.A.W, diketahui secara mutawatir dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui Malikat Jibril kepada Muhammad S.A.W yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah S.W.T, diantaranya Q.S AN-NISA: 105, Q.S AN-NAHL: 89.
Mukjizat Al-Qu’an juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran Al-Qur’an itu datangnya dari Allah S.W.T . Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad yang membawa risalllah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebisaan umat manusia. Kemukjizatan Al-Qur’an menurut para Ahli Ushul Fiqih akan terlihat jelas apabila: (Nasrun Haroen, 1997: 27-28)
Adanya tantangan dari pihak manapun
Adanya unsur-unsur yang menyebabakan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebanaran Islam.
Tidak ada penghalang munculnya tantangan tersebut.

D. Dalalah Al-Qur’an Terhadap Hukum
Al-Qur’an yang diturunkan secara Muthawatir dari segi turunnya berkwalitas Qath’i (Pasti Benar), tetapi hukum-hukum yang dikandungnya adakala yang bersifat Qath’i dan adakalanya bersifat Zanni(Relatif benar).
Ayat-ayat yang bersifat Qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa diapahami makana lain dari nya.  Contohnya adalah:
Q.S An-Nisa (4) Ayat 11
Q.S Al-Nur (24) Ayat 2
Q.S Al-Maidah (5) Ayat 89
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat diatas bagian waris, 100X kali dera bagi orang-orang yang berbuat zina, dan puasa 3 hari untuk kaffarat sumpah menurut ulama Ushul Fiqih, mengandung hukum yang Qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum Zhanni adalah lafal-lafal dalam Al-Qur’an yang mengandung pengertian lebih dari satu dan menmungkinkan untuk di ta’wilkan. Misalnya, lafaz Musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata Quru’  yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 228. Kata Quru’ meruapakan lafaz Musytarak yang mengandung dua makna yaitu “suci” dan “haid”. Oleh sebab itu, apabila kata Quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut Ulama Syafi’iyyah adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan Haid, juga boleh (benar) sebagaiman yang dianut oleh Ulama Hanafiyyah.

E. Kejelasan Makna Al-Qur’an
Ayat-ayat al-qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam keduanya dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran (3): 7, yaitu: (amir Syarifuddin, 2009: 80)
Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan  pemahaman.
Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Ada beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksuddengan pemahaman yang sama. Contohnya: umpamanya kata quru’ (        ) dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2): 228 yang berarti suci atau haid.
Lafaz yang menggunakan makna nam atau kiasan yang menurut lahirnya mendatngkan keraguan. Keraguan ini disebabkan oleh penggunaan sifat yang ada pada manusiauntuk Allah SWT., padahal Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. Contohnya: penggunaan kata “wajah” atau gan   dan “muka”untuk Allah (ar-Rahman [55]: 27) dan penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (Yunus [10]: 3).

Ulama yang menolak bentuk ungkapan yang mengandung arti penyamaan Tuhan dengan manusia, berusaha mentakwilkan atau mengalihkan arti lahir dari ayat mutasyabihat tersebut dalam arti lain, seperti kata “wajah Allah” diartinya “Dzat Allah” dan bersemayam diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan takwil, tetap mengartikan ayat mutasyabihat itu menurut apa adanya.

F. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum-Hukum
Para ulama Ushul Fiqih menetapkan bahwa Al-Qur’an sebagi sumber utama hukum Islam telah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dengan cara: (amir Syarifuddin, 2009: 81)
Secara Juz’i (terperinci), maksudnya adalah Al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunahnya.
Secara Kulli (global), maksudnya adalah penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan adalah Nabi Muhammad S.A.W  dengan sunahnya. Penjelasan dari nabi sendiri diantaranya ada yang berebentuk pasti, sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain. Disamping itu, penjelasan Nabi ada dalam bentuk yang masih samar-samar dan memeberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
Secara Isyarah, maksudnya adalah Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara Isyarat.
Hikmah yang terkandung dalam hal terbatasnya hukum-hukum rinci yang diturunkan Allah melalui Al-Qur’an, menurut para ahli Ushul Fiqih adalah agar hukum-hukum global dan umum tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia ditempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat senantiasa terayomi oleh Al-Qur’an. (Nasrun Haroen. 1997: 30-31)


DAFTAR PUSTAKA

Efendi,Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh.Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Syarifuddin,Amir. 1997.Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zaini, Hasan. Radhiatul Hasnah. 2011.Ulumul Qur’an. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press




Tidak ada komentar:

Posting Komentar