Jumat, 09 Oktober 2015

USUL FIQIH TENTANG QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi. Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam al-quran dan sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran atau sunnah Rasulullah.
Bila benar ada kesamaan ‘illat nya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama. Begitulah dilakukan pada setiap praktik qiyas.
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Islam
Mendefinisikan Qiyas
Menurut Amir syarifuddin (2009: 170) qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam nash-nash Al-Qur’an dan sunah tidak ada yang menetapkan hukumnya secara jelas.
Menurut Satria Efendi (2005: 130) qiyas menurut bahasa berarti “ mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya.
Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili qiyas adalah menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Menurut Saifuddin al-Amidi qiyas adalah mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal yang di istinbathkan dari hukum asal.
Menurut ulama Syafi’iyah qiyas adalah membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya baik hukum maupun sifat.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa qiyas menurut istilah adalah menggabungkan suatu pekerjaan pada pekerjaan lain tentang hukumnya karena kedua pekerjaan itu memiliki persamaan sebab (‘illat) yang menyebabkan hukumnya harus sama. Sedangkan menurut bahasa qiyas adalah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.

Menjelaskan Dasar Hukum
        Para ulama ushul fiqh menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi, antara lain:
Surat An-Nisa ayat 59:
                                
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat diantara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah. Cara mengambalikannya antara lain dengan melakukan qiyas.
Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim di yaman. Menjawab pertanyan Rasulullah dengan apa ia (Mu’az bin Jabal) memutuskan hukum di yaman, Mu’az ibnu Jabal menceritakan bahwa ia akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran) dan jika tidak didapatkan dalam kitab Allah ia putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah, dan seterusnya dengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut.
Mendengar jawaban itu Rasulullah berkomentar dengan mengatakan: “ segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah” . “secara lengkap hadis tersebut adalah yang artinya sebagai berikut:
“ dari Al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. mengutus Mu’az ke yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, “ atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan?”, dia jawab, “ dasarnya adalah kitab Allah”, Nabi bertanya: “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab “ dengan dasar sunnah Rasulullah SAW”. beliau bertanya lagi: “ kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab “ aku akan berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata: “ segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi).

Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash maupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan ‘illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Sebagi istinbath hukum-hukum syara’
Ketentuannya dalam al-quran dan sunnah
Al-quran dan sunnah
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas yaitu:
Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai istinbath hukum-hukum syara’
Sebagian ulama Syi’ah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti an-Nazam juga ulama-ulama Dzaniyyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah karena ia beralasan bahwa semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunnah.
Rukun dan Syarat Qiyas
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat:
Ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan sesuatu) yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Quran atau dalam sunnah Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramnya dalam ayat:
                 
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi M. A, adalah:
Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukah) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas syara’.
Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya
puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya). Tetapi puasanya tetap ada,  karena ada hadis yang menerangkan yang artinya:
“ dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda: “ barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklan menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Berhubungan dengan hadis tersebut, demikian A. Hanafi menjelaskan, maka orang yang dipaksa tidak dapat di-qiyas-kan dengan orang yang lupa.
Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Quran.
Syarat-syarat hukum ashal menurut Abu Zahra antara lain:
Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara; yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadikan kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
Hukum ashal dapat ditelusuri ‘illat (motivasi) hukumnya. Misalnya hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya (gairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW. misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
Adanya cabang (far’u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran, sunnah, atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky.
Syarat-ayaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:
Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh menetapkan bahwa: “ apabila datang nas (penjelasan hukumnya dalam Al-Quran atau sunnah), qiyas menjadi batal”. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran dan sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.
‘illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
‘illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. ‘illat menurut bahasa berarti “ sesuatu yang bisa merubah keadaan”, misalnya penyakit disebut ‘illat karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena penyakit itu.
Menurut istilah adalah “ suatu sifat yang konkret dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudaratan dari umat manusia”.
Untuk sahnya suatu ‘illat sebagai landasan qiyas, ‘illat memerlukan beberapa persyaratan anatara lain:
‘illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan suatu hukum. Artinya, kuat dugaan bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ‘illat itu bukan karena sesuatu yang lain.
‘illat haru bersifat jelas. Maka sesuatu yang tersembunyi atau samar-samar tidak sah dijadikan ‘illat karena tidak dapat dideteksi keberadaannya.
‘illat itu harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar timbangannya jika berupa barang yang ditimbang sehingga tidak hauh berbeda pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain.
Adapun syarat-syarat qiyas adalah sebagai berikut:
Syarat-syarat ashl (soal-soal pokok)
Syarat-syarat cabang
Syarat-syarat ‘illat
Jadi, disini dapat kita lihat bahwa syarat-syarat qiyas itu adalah syarat-syarat yang terdapat dalam ashal, far’u, dan ‘illat.
Macam- macam Qiyas
Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yanng terdapat pada ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga macam:
Qiyas awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama dari pada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, meng-qiyas-kan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam ayat 23 surat Al-Isra’.
                             
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
Qiyas musawi, yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat 10 surat An-Nisa’.
                
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Qiyas al-adna, yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat ysng terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya, sifat memabukan yang tredapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam ayat 90 surat Al-Maidah.
                 
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sedangkan dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, dapat dibagi dua yaitu:
Qiyas jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illat-nya.
Qiyah khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbath-kan (ditarik) dari hukum ashal.

Mengetahui Cara Mencari ‘illat
Menurut penelitian para ulama ushul fiqh, ada beberapa cara yang digunakan untuk mengetahui keberadaan ‘illat, baik pada suatu ayat atau pada hadis Rasulullua, yaitu:
Melalui dalil-dalil Al-Quran atau hadis baik secara tegas atau tidak tegas. Contoh ‘illat yang disebut secara tegas ayat 7 surat Al-Hasyar:
                                          
7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Mengetahui ‘illat dengan ijma’. Contohnya, kesepakatan ulama fiqh bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi perlu ada pembimbing untuk mengendalikan harta anak itu sampai ia dewasa.
Mengetahui ‘illat dengan jalan ijtihad dan hasilnya dikenal dengan ‘illat mutanbathah (‘illat yang dihasilkan dengan jalan ijtihad). Diantara cara-cara berijtihad untuk menemukan ‘illat adalah dengan as-sibru wa al-taqsim. As-sibru berarti “ menyeleksi beberapa sifat, mana diantaranya yang lebih cocok untuk dijadikan ‘illat bagi suatu rumusan hukum”.
Sedangkan at-taqsim berarti “ menarik dan mengumpulkan berbagai bentuk sifat yang dikandung oleh suatu rumusan hukum syara’”.

Penutup
Kesimpulan
Pengertian qiyas
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Quran dan sunnah.
Dasar hukum qiyas
Surat An-Nisa’ ayat 59
Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim ke yaman.
Rukun dan syarat qiyas
Rukun ada empat:
Ashal yaitu sama dengan pokok tempat meng-qiyas-kan sesuatu
Adanya hukum ashal yaitu hukum syara’
Adanya far’u yaitu cabang yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran, sunnah, atau ijma’
‘illat yaitu merupakan inti bagi praktik qiyas
Syarat-syarat qiyas adalah yang terdapat dalam syarat-syarat ashal, far’u dan ‘illat
Kehujjahan qiyas
Istinbath hukum-hukum syara’
Ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunnah
Macam-macam qiyas
Qiya musawi yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada cabang
Qiyas awla yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashal
Qiyas al adna yaitu dimana ‘illat yang terdapat pada cabang lebih rendah dibandingkan terdapat dalam ashal
Cara mencari ‘illat
Melalui dali-dalil Al-Quran atau hadis
Mengetahui ‘illat dengan ijma’
Mengetahui ‘illat dengan jalan ijtihad

b.Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bisa dijadikan acuan dalam pembelajaran.







DAFTAR PUSTAKA


Efendi, Satria, 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Zahra, Abu, 1989. Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Firdaus.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar